Indira menggeleng pelan. "Belum sempurna. Nanti aja kalau jadi. Gimana?"Â
Aku sedikit kecewa. Padahal aku ingin sekali dengar permainan gitar dan suara indahnya. Namun tidak apa, aku cukup perlu bersabar sebentar.Â
Suatu hari, Indira menemuiku. Bukan hari Senin, tetapi hari Minggu. Matanya sembab, ia melihatku dengan tatapan sedih.Â
Aku yang cukup peka bertanya padanya. Namun, Indira menjawab ia baik-baik saja. Meski aku tahu, wajahnya berusaha menutupi sesuatu.Â
Waktu itu gerimis turun lagi. Indira pamit untuk pulang ke rumah. Namun sebelum pulang, ia memberikan sebuah foto.Â
"Ini kamu?" kataku dengan wajah berbinar. Selembar foto Indira yang berwarna hitam putih. Ia menggunakan dress selutut, terlihat sedang memainkan gitar di atas panggung. Aku tidak tahu pasti itu acara apa, tetapi di bawah foto tertulis Juni 1980. Berarti foto itu diambil 4 bulan lalu.Â
"Iya. Cantik, kan?"Â
Aku mengangguk cepat sebagai jawaban. "Tapi kenapa kamu kasih foto ini?"Â
Indira berusaha tersenyum manis saat itu. "Emang nggak mau, ya?"Â
Aku menggeleng cepat. Kemudian kami tertawa bersama. Tawa untuk yang terakhir kali. Karena setelah itu, sampai saat ini, aku tidak pernah bertemu dengannya lagi.Â
Hal yang begitu membuatku menyesal adalah tak memiliki kesempatan untuk mengungkapkan perasaanku, bahkan untuk sekadar mengucapkan selamat tinggal.Â