Aku mencintai dunia seni. Melukis adalah pekerjaanku. Berbeda dengan seniman terhormat, aku hanya hidup dari jalan ke jalan. Melukis dengan rasa, lalu dibayar seadanya. Bagiku lukisan adalah bentuk dari emosi dan perasaan. Setiap coretan, atau warna-warna pada sebuah kanvas putih adalah segala yang ada pada dirinya. Sehingga bagiku, tidak perlu teknik-teknik ukiran yang mengikat, cukup rasakan saja. Karya hebat akan terlukis di sana.Â
Suatu sore menjelang malam di Kota Bandung, gerimis turun membasahi tanah kering. Aroma petrikor yang aku hirup, membangkitkan perasaan bahagia. Tepat pada saat itu, mataku melihat gadis cantik berbaju kuning sedang berdiri di persimpangan jalan. Tangan kanannya mengangkat gagang payung, sementara tangan kirinya membawa tas gitar.Â
Mata kami tak sengaja bertemu, saling pandang lalu melempar senyum satu sama lain. Detik itu juga, untuk pertama kalinya, aku melihat mahakarya luar biasa selain lukisan. Senyum gadis itu layaknya matahari baru terbit, tatapan matanya meneduhkan layaknya tetesan embun pagi. Rasanya seperti aku mengombinasikan warna biru laut dan putih pada awan kelabu.
Tak memiliki keberanian lebih untuk berkenalan, gadis itu masuk ke dalam angkutan umum warna hijau. Hari itu berlalu dengan sia-sia.Â
Keesokan hari, aku seperti orang kerusupan. Menumpukan segala warna pada kanvas putih. Pemandangan abstrak yang melambangkan kekecewaan. Selama memadukan warna itu, isi kepalaku selalu bertanya, "adakah kesempatan lagi untuk bertemu?"Â
Minggu berganti, pagi pun berganti sore. Saat hendak mengeluarkan peralatan lukis, mataku memandang sepatu flatshoes hitam polos. Kepalaku mengadah, melihat gadis cantik itu berdiri di hadapanku. Dengan pipi yang merah merona, ia mengulurkan tangan malu-malu. Â "Nama saya Indira."Â
Aku tidak pernah merasanan keindahan indra lain selain mata, yaitu telinga. Suara Indira lembut, manis, dan manja, di saat bersamaan.
"Saya Ali."
Cinta pertamaku tumbuh saat aku berusia 19 tahun. Indira, nama yang indah.Â
Aku tidak punya stand atau tempat khusus untuk menjual karya-karyaku. Setelah tutup jam operasional, pemilik toko roti berbaik hati memperbolehkan aku berkarya di depannya. Berbekal terpal plastik sebagai alas, aku melukis dan menjual karyaku di sana.Â