seruan angin beradu dengan tangisan bayi
ia terus mencari sesuatu
entah sang ibu atau sang ayah yang telah lama mati
mungkin saja ia ingin mengisi perut yang kelaparan
atau tempat berlindung yang aman dari kejam dunia
kakiku kembali melangkah
melupakan sesuatu yang telah lama bernaung dalam kepala
katanya orang akan lebih bahagia bila tak terlalu menghirau huru hara manusia
lalu,
kumendengar bisikan kereta tua tanpa ekor
menarikku ke imajinasi aneh dengan benang merah
kini,
aku bukan lagi aku di masa ini
tidak pula aku yang sesungguhnya di masa lalu
terus berjalan menelusuri celah dinding kamarku, kamar tetanggaku, bahkan kamar sempit yang tak memiliki makna apa-apa
sekat yang memsisah kotak-kotak kehidupan seolah-olah telah kehilangan fungsi, rusak
diam, mematung, tak semestinya
bingung
mengapa aku dikirim kamari?
di tanah gersang yang dulu dipenuhi hasil karya alam yang luar biasa
kawanan domba tertawa padaku
aku pun balas tak kalah kencang
kadang mengumpat dengan wajah melucu di sisa kewarasan
kami saling tertawa
kadang berakhir saling memaki
lalu ... kami tertawa lagi
melepas penat dalam kehendak
bagi kami ... hanya ini harga yang paling murah
para petani terheran memandang bergantian dari ujung jalan
bingung siapa yang lebih gila di antara kami
mata kami pun saling memandang
saling sapa layaknya bertemu kawan lama yang senasib, dan sepemikiran
cekikikan
cengengesan
para petani pun ikut tertawa
saling mengejek
terkadang berakhir saling tukar bogem mentah
ah ... sial.
andai bahagia bisa dibeli dengan harga murah
berbahagia dengan petani dan kawanan domba
mari kita lari dari dunia!
yang sudah lebih dulu, pergi menjauh
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H