Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Konsultan - Penikmat Kopi

Saat ini mengabdi pada desa. Kopi satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Takut Polisi, Warisan yang Tak Perlu

3 Februari 2025   08:39 Diperbarui: 3 Februari 2025   10:49 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Takut polisi, warisan yang tak perlu (sumber: www.kompas.id/baca/)

Selepas penat kegiatan monitoring lokasi kegiatan rabat, kami beristirahat di sebuah warung kopi di sudut desa. Udara sore yang sejuk berpadu dengan aroma kopi panas dan gorengan hangat. Di meja, ubi rebus tersaji, sederhana namun mengundang selera.

Dari arah gang sempit di sebelah warung, terdengar tangis seorang anak kecil. Ibunya terdengar berkata, “Kalau nangis terus, awas, nanti ditangkap polisi.” Seketika, tangis si anak reda. Padahal, tak ada satu pun aparat di sekitar situ.

Pemandangan ini bukan hal baru. Kalimat seperti itu telah diwariskan turun-temurun. Polisi dijadikan momok sejak dini. Sosok yang seharusnya menjaga keamanan justru ditanamkan sebagai ancaman dalam benak anak-anak.

Di banyak desa, orang-orang tumbuh dengan rasa takut terhadap polisi. Takut tanpa alasan yang jelas. Mungkin karena cerita lama yang beredar. Mungkin karena pengalaman buruk orang tua mereka. Atau mungkin karena polisi hanya muncul dalam situasi menegangkan saja seperti saat razia, penggerebekan atau penangkapan.

Robert Reiner dalam Policing and Society (2010) menulis bahwa citra polisi berbeda di setiap komunitas. Ada yang melihatnya sebagai pelindung. Ada pula yang menganggapnya sebagai ancaman. Di banyak desa di Indonesia, kesan yang tertanam lebih sering adalah yang kedua.

Sejarah panjang berperan dalam membentuk stigma ini. Pada masa Orde Baru, polisi kerap digunakan sebagai alat kekuasaan (Kammen & Siddharth, 2019). Mereka lebih sering terlihat dalam operasi penertiban dibandingkan interaksi sosial. Rezim otoriter memanfaatkan aparat untuk membungkam perbedaan pendapat. Di desa “warisan” ini masih terasa hingga kini.

Edward Mietzner dalam The Politics of Police Reform in Indonesia (2014) mencatat bahwa reformasi kepolisian telah dilakukan. Namun, perubahan persepsi masyarakat berjalan lebih lambat dibandingkan transformasi struktural. Ketakutan terhadap polisi tetap melekat karena interaksi yang terbatas dan dominasi pengalaman negatif.

Padahal, dalam konsep kepolisian modern, aparat seharusnya bekerja sama dengan masyarakat (Bayley, 1994). Bukan menjadi sosok yang ditakuti. Bukan menjadi entitas asing dalam kehidupan warga. Polisi seharusnya hadir sebagai bagian dari keseharian, bukan hanya dalam situasi darurat.

Di Jepang, misalnya, polisi dikenal dekat dengan masyarakat. Mereka berpatroli, menyapa warga, membantu lansia menyeberang jalan (Bayley, 1991). Model kepolisian berbasis komunitas ini terbukti meningkatkan kepercayaan masyarakat. Tidak ada lagi ketakutan. Yang ada justru rasa aman.

Indonesia sebenarnya memiliki program serupa, yaitu Polisi Masyarakat (Polmas). Program ini bertujuan membangun interaksi yang lebih erat antara aparat dan warga (Taufik & Susilo, 2021). Namun, implementasinya masih beragam. Di beberapa tempat, Polmas berjalan baik. Di tempat lain, masih sebatas konsep di atas kertas.

Minimnya interaksi positif membuat stigma terhadap polisi sulit hilang. Di banyak desa, anak-anak tidak pernah melihat polisi kecuali dalam razia. Tidak heran jika mereka mengasosiasikan aparat dengan ketakutan. Polisi seakan hanya hadir untuk menangkap, bukan melindungi.

Ketakutan ini diwariskan dari generasi ke generasi. Seorang ibu yang pernah ditakut-takuti di masa kecilnya akan melakukan hal yang sama pada anaknya. Siklus ini terus berulang, tanpa ada yang benar-benar mempertanyakan alasannya.

Pendidikan bisa menjadi solusi. Anak-anak perlu diajarkan bahwa polisi bukan ancaman. Sekolah bisa berperan dalam mengubah persepsi ini. Program seperti Polisi Sahabat Anak telah diperkenalkan, meski belum menjadi bagian dari kurikulum formal. Studi di Eropa menunjukkan bahwa edukasi kepolisian di sekolah efektif dalam membentuk persepsi positif sejak dini (Sunshine & Tyler, 2003).

Di Indonesia, langkah ini harus diperluas. Tidak cukup hanya dengan kunjungan sesekali ke sekolah. Harus ada interaksi rutin antara polisi dan anak-anak. Mereka perlu melihat polisi sebagai teman, bukan ancaman.

Di warung kopi sore itu, aku terdiam memikirkan kejadian tadi. Anak kecil yang menangis karena mendengar nama polisi. Sebuah ketakutan yang tak perlu. Sebuah warisan yang seharusnya berhenti.

Dalam negara demokrasi, polisi bukan penguasa. Mereka adalah pelayan masyarakat. Mereka ada untuk melindungi, bukan untuk ditakuti. Jika rasa takut lebih mendominasi dibandingkan kepercayaan, maka ada yang salah dalam sistem yang kita bangun.

Polisi juga harus berbenah. Tidak cukup hanya meminta kepercayaan, tetapi juga harus menunjukkannya. Bertindak adil, transparan, dan dekat dengan rakyat.

Masyarakat yang percaya pada polisi akan lebih kooperatif. Ini terbukti dalam berbagai penelitian tentang hubungan kepolisian dan warga sipil (Skogan, 2006).

Jika kepercayaan ini terbangun, maka tak perlu lagi ada anak yang menangis saat mendengar nama polisi disebut. Karena mereka tahu, polisi bukan untuk ditakuti, tetapi untuk diandalkan.

Senja mulai turun ketika kami meninggalkan warung kopi. Jalanan desa lengang. Dalam hati, aku berharap suatu hari nanti, tak ada lagi anak yang ketakutan hanya karena mendengar kata ‘polisi’.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun