Kata “bacot” sering menjadi senjata kritik instan di era digital. Kritik tanpa dasar, kadang hanya lahir dari ketidaksukaan. Tapi ketika yang disebut “bacot” justru masuk headline di platform besar seperti Kompasiana, siapa yang sebenarnya harus disebut “bacot”?
Media digital telah mengubah cara kita berkomunikasi. Setiap orang bisa menulis, membagikan opini, dan membangun gagasan. Tapi dalam kebebasan itu, ada juga yang memilih untuk sekadar mencibir. Sebuah ironi yang menegaskan bahwa tidak semua orang memiliki kapasitas untuk membangun, tapi banyak yang pandai menghancurkan. (Sunstein, 2018)
Ketika sebuah tulisan mendapat perhatian luas--sebagai informasi, hingga saat ini, artikel "Sebaiknya TPP Bersikap Begini Terhadap Kontrak" telah dikunjungi sebanyak 1951 kali, itu bukan sekadar kebetulan. Mungkin ada kualitas yang membuatnya menonjol. Ada relevansi yang menyentuh pembaca.
Jika tidak, maka ribuan artikel lain akan berlalu begitu saja tanpa jejak. Dalam teori komunikasi massa, perhatian publik bukan hanya soal eksistensi, tetapi juga soal kredibilitas dan daya tarik isi. (Kovach & Rosenstiel, 2014)
Mengapa sebuah tulisan bisa masuk headline? Jawabannya terletak pada tiga hal: substansi, konteks, dan penerimaan publik. Sebuah opini yang kuat akan berbicara dalam bahasa yang lugas, menyajikan fakta yang tajam, dan menohok dalam logika berpikir. Bukan sekadar untaian kata tanpa arah. (Lippmann, 1922)
Di media sosial, kemarahan sering kali menggantikan argumentasi. Kritik yang seharusnya menjadi bagian dari diskusi rasional berubah menjadi serangan personal. Kata “bacot” menjadi representasi dari ketidakmampuan membalas argumen dengan logika yang sehat. Sementara itu, mereka yang konsisten menulis akan terus menciptakan pengaruh. (Habermas, 1989)
Dalam jurnalisme, apresiasi publik adalah validasi. Media tidak akan sembarangan memilih headline. Ada seleksi yang dilakukan berdasarkan kualitas dan relevansi. Itu sebabnya, ketika sebuah artikel masuk dalam sorotan utama, itu berarti ada sesuatu yang bernilai di dalamnya. Sementara mereka yang hanya mencemooh tidak akan pernah merasakan bagaimana rasanya diakui dalam ruang publik yang lebih luas. (Shoemaker & Reese, 1996)
Sejarah jurnalisme penuh dengan contoh tulisan yang awalnya diremehkan, tapi kemudian diakui sebagai pemantik perubahan. Dari tulisan opini di surat kabar hingga editorial yang mengguncang kebijakan. Di dunia akademik, pemikiran kritis lebih dihargai dibanding komentar kosong. Oleh karena itu, keberadaan tulisan yang bisa menjadi bahan diskusi lebih berarti daripada sekadar umpatan di kolom komentar.
Fenomena ini memperlihatkan bagaimana dunia digital bukan hanya arena ekspresi, tetapi juga uji intelektualitas. Siapa yang hanya bisa mencemooh, dan siapa yang benar-benar mampu membangun gagasan. Bagi yang memilih untuk terus menulis, mereka memahami bahwa setiap kata adalah jejak pemikiran yang bisa bertahan lama. Sementara komentar-komentar kosong akan hilang ditelan algoritma.