Muncul dugaan, mungkin oknum yang menyebut “bacot” itu adalah seorang Tenaga Pendamping Profesional (TPP) yang tidak suka membaca. Ironisnya, tugas pendamping adalah membangun gagasan dan memperkuat kapasitas desa, bukan sekadar mengkritik tanpa dasar. Jika membaca saja enggan, bagaimana bisa membimbing masyarakat menuju perubahan yang lebih baik?
Realitas ini sekaligus menjadi pelajaran bahwa penghargaan terhadap ide dan pemikiran tidak datang dari suara mayoritas yang berisik. Melainkan dari mereka yang benar-benar membaca, menganalisis, dan memahami. Dalam sejarahnya, media telah membuktikan bahwa yang abadi adalah ide, bukan hinaan. (Carey, 1989)
Maka, bagi mereka yang terus menulis dan berbagi gagasan, tetaplah melangkah. Karena opini yang baik akan selalu menemukan jalannya menuju pembaca yang tepat. Dan bagi yang hanya bisa berkata “bacot”, mungkin sudah saatnya bertanya, apa kontribusi yang telah mereka berikan?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI