Isra’ Mi’raj merupakan peristiwa monumental yang mengajarkan nilai spiritual dan sosial nan mendalam. Nabi Muhammad SAW melakukan perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, hingga Sidratul Muntaha, melampaui batas ruang dan waktu.
As-Suddi berpendapat bahwa Isra’ Mi’raj terjadi 16 bulan sebelum Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, tepatnya pada bulan Dzulqa’dah. Pandangan ini tercatat dalam Tafsir al-Kabir karya Imam ar-Razi dan Al-Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Katsir, yang menghimpun berbagai pendapat ulama tentang kronologi peristiwa Isra’ Mi’raj.
Di Indonesia, keyakinan yang lebih populer menyebut Isra’ Mi’raj terjadi pada malam 27 Rajab tahun ke-10 kenabian. Hal ini disebutkan dalam Sirah Nabawiyah karya Ibnu Hisyam. Kedua pandangan ini menunjukkan keragaman dalam memahami peristiwa penting dalam sejarah Islam.
Dalam kitab Sirah Nabawiyah disebutkan bahwa, peristiwa ini terjadi pada masa sulit bagi Nabi. Ujian hidup ini menjadi pijakan awal perjalanan yang meneguhkan dan memperkuat semangat dakwah beliau.
Dari perjalanan itu, Nabi menerima perintah salat. Ibadah ini mengajarkan pentingnya hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Namun, hikmah Isra’ Mi’raj melampaui dimensi spiritual dan mencakup pengelolaan kehidupan sosial.
Pembangunan desa di Indonesia membutuhkan semangat yang serupa. Desa, sebagai miniatur kehidupan, memerlukan harmoni antara dimensi spiritual, sosial, dan lingkungan. Perjalanan Nabi menjadi pelajaran bagaimana nilai-nilai langit diterapkan di bumi.
Dalam jurnal Islamic Perspectives on Development oleh Fazlur Rahman (1984), pembangunan berbasis nilai spiritual menciptakan masyarakat yang lebih peduli. Hal ini relevan untuk menciptakan desa yang adil dan berkelanjutan.
Pendampingan desa sering kali menghadapi tantangan, baik ekonomi maupun sosial. Isra’ Mi’raj mengajarkan keberanian bermimpi besar, seperti Nabi yang melampaui dimensi ruang dan waktu dalam perjalanannya menuju Sidratul Muntaha.
Namun, perjalanan Nabi tidak hanya untuk dirinya sendiri. Beliau kembali guna menyampaikan risalah, membawa pesan perbaikan dan perubahan. Ini adalah prinsip utama pendamping desa, hadir untuk melayani dan membangun bersama masyarakat.
Dalam buku Community Development in Islam karya Abdullah al-Maududi, disebutkan bahwa kepemimpinan Islami menekankan tanggung jawab kolektif. Musyawarah desa menjadi cerminan bagaimana nilai ini diterapkan dalam pengambilan keputusan.