Alternatif menarik adalah adanya LSP lain yang menawarkan skema sertifikasi lebih terjangkau, bahkan gratis untuk beberapa program. Kemitraan strategis antara Kementerian Desa dan LSP ini dapat membuka peluang sertifikasi tanpa biaya bagi seluruh TPP di Indonesia.
Sertifikasi kompetensi menjadi kebutuhan mendesak bagi tenaga pendamping profesional (TPP) di bawah Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Dalam era desa tematik, di mana pembangunan berbasis potensi unggulan menjadi fokus, keberadaan TPP yang kompeten merupakan kunci keberhasilan.
Namun, tingginya biaya sertifikasi menjadi hambatan utama. Di salah satu daerah, dari 500-an TPP yang mengikuti sosialisasi, hanya 50-an orang yang melanjutkan ke tahap sertifikasi. Sisanya, termasuk rencana partisipasi berikutnya, menunjukkan tren penurunan akibat ketidakmampuan menanggung biaya (Siregar, 2021).
Fenomena ini memperlihatkan urgensi solusi baru. Sertifikasi tidak hanya meningkatkan kualitas individu, tetapi juga memastikan pendampingan desa berjalan sesuai standar yang mendukung pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs Desa). Tanpa sertifikasi, kualitas pendampingan rawan mengalami ketimpangan.
Kementerian Desa selama ini telah menggandeng Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Pihak Kedua. LSP P2 didirikan khusus untuk menjawab kebutuhan TPP. Namun, persoalan biaya yang tetap tinggi membuat target sertifikasi jauh dari capaian. Perlu pendekatan baru untuk memastikan akses yang lebih merata.
Alternatif yang menarik perhatian adalah adanya LSP-LSP lain yang menawarkan skema sertifikasi dengan biaya lebih terjangkau, bahkan menyediakan akses gratis untuk beberapa program. Kemitraan strategis antara Kementerian Desa dan LSP-LSP ini dapat membuka jalan menuju sertifikasi tanpa biaya bagi seluruh TPP di seluruh Indonesia.
Dalam skema ini, BNSP menetapkan standar, sementara LSP-LSP tersebut menjalankan proses uji kompetensi. Perbedaan signifikan terletak pada pendekatan biaya dan aksesibilitas. Contoh, terdapat LSP yang lebih adaptif terhadap kebutuhan masyarakat yang membutuhkan solusi sertifikasi terjangkau.
Kemitraan dengan lembaga seperti LSP-LSP yang adaptif tidak hanya menekan biaya hingga nol rupiah tetapi juga membuka peluang inovasi dalam pelaksanaan sertifikasi. Dengan optimalisasi dana yang sudah dianggarkan untuk pengembangan sumber daya manusia, langkah ini sangat mungkin diwujudkan (Hadi & Sutopo, 2020).
Sebagai perbandingan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) berhasil mengimplementasikan skema pelatihan guru gratis bekerja sama dengan berbagai lembaga pendidikan. Skema serupa dapat diterapkan di sektor pemberdayaan desa dengan melibatkan pihak ketiga yang kompeten.
Langkah lainnya adalah kolaborasi dengan BNSP untuk mengembangkan skema sertifikasi berbasis kebutuhan lokal. Ini memungkinkan proses sertifikasi yang lebih sederhana tanpa mengurangi kualitas uji kompetensi. Dalam konteks desa tematik, pendekatan ini akan sangat relevan.