Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Konsultan - Penikmat Kopi

Saat ini mengabdi pada desa. Kopi satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sertifikasi TPP, Bisa Berbiaya Nol Rupiah di Era Desa Tematik

24 Januari 2025   13:49 Diperbarui: 24 Januari 2025   16:41 1743
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi biaya sertifikasi nol rupiah (sumber: Gambar oleh Frantisek Krejci dari Pixabay)Input Keterangan & Sumber Gambar (Contoh: Foto Langit Malam 

Alternatif menarik adalah adanya LSP lain yang menawarkan skema sertifikasi lebih terjangkau, bahkan gratis untuk beberapa program. Kemitraan strategis antara Kementerian Desa dan LSP ini dapat membuka peluang sertifikasi tanpa biaya bagi seluruh TPP di Indonesia.

Sertifikasi kompetensi menjadi kebutuhan mendesak bagi tenaga pendamping profesional (TPP) di bawah Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Dalam era desa tematik, di mana pembangunan berbasis potensi unggulan menjadi fokus, keberadaan TPP yang kompeten merupakan kunci keberhasilan.

Namun, tingginya biaya sertifikasi menjadi hambatan utama. Di salah satu daerah, dari 500-an TPP yang mengikuti sosialisasi, hanya 50-an orang yang melanjutkan ke tahap sertifikasi. Sisanya, termasuk rencana partisipasi berikutnya, menunjukkan tren penurunan akibat ketidakmampuan menanggung biaya (Siregar, 2021).

Fenomena ini memperlihatkan urgensi solusi baru. Sertifikasi tidak hanya meningkatkan kualitas individu, tetapi juga memastikan pendampingan desa berjalan sesuai standar yang mendukung pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs Desa). Tanpa sertifikasi, kualitas pendampingan rawan mengalami ketimpangan.

Kementerian Desa selama ini telah menggandeng Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Pihak Kedua. LSP P2 didirikan khusus untuk menjawab kebutuhan TPP. Namun, persoalan biaya yang tetap tinggi membuat target sertifikasi jauh dari capaian. Perlu pendekatan baru untuk memastikan akses yang lebih merata.

Alternatif yang menarik perhatian adalah adanya LSP-LSP lain yang menawarkan skema sertifikasi dengan biaya lebih terjangkau, bahkan menyediakan akses gratis untuk beberapa program. Kemitraan strategis antara Kementerian Desa dan LSP-LSP ini dapat membuka jalan menuju sertifikasi tanpa biaya bagi seluruh TPP di seluruh Indonesia.

Dalam skema ini, BNSP menetapkan standar, sementara LSP-LSP tersebut menjalankan proses uji kompetensi. Perbedaan signifikan terletak pada pendekatan biaya dan aksesibilitas. Contoh, terdapat LSP yang lebih adaptif terhadap kebutuhan masyarakat yang membutuhkan solusi sertifikasi terjangkau.

Kemitraan dengan lembaga seperti LSP-LSP yang adaptif tidak hanya menekan biaya hingga nol rupiah tetapi juga membuka peluang inovasi dalam pelaksanaan sertifikasi. Dengan optimalisasi dana yang sudah dianggarkan untuk pengembangan sumber daya manusia, langkah ini sangat mungkin diwujudkan (Hadi & Sutopo, 2020).

Sebagai perbandingan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) berhasil mengimplementasikan skema pelatihan guru gratis bekerja sama dengan berbagai lembaga pendidikan. Skema serupa dapat diterapkan di sektor pemberdayaan desa dengan melibatkan pihak ketiga yang kompeten.

Langkah lainnya adalah kolaborasi dengan BNSP untuk mengembangkan skema sertifikasi berbasis kebutuhan lokal. Ini memungkinkan proses sertifikasi yang lebih sederhana tanpa mengurangi kualitas uji kompetensi. Dalam konteks desa tematik, pendekatan ini akan sangat relevan.

Desa tematik membutuhkan pendamping yang mampu memahami kebutuhan spesifik setiap desa. TPP yang tersertifikasi dapat berperan lebih efektif dalam memfasilitasi pembangunan berbasis potensi unggulan. Hal ini akan mempercepat transformasi desa menuju kemandirian.

Tanpa sertifikasi, standar kerja TPP berisiko tidak konsisten. Dampaknya adalah terganggunya efektivitas program pembangunan desa. Sebaliknya, dengan tenaga yang kompeten dan profesional, target pembangunan sesuai SDGs Desa lebih mudah dicapai.

Pendamping yang kompeten adalah ujung tombak dalam membantu desa mengatasi status ketertinggalan. Namun, beban biaya yang tinggi menghambat langkah ini. Oleh karena itu, sertifikasi tanpa biaya adalah investasi jangka panjang yang sangat dibutuhkan.

Pemanfaatan teknologi digital dalam uji kompetensi juga menjadi solusi potensial. Platform online dapat menekan biaya logistik dan operasional, sekaligus memperluas akses ke berbagai daerah terpencil. Dengan cara ini, sertifikasi dapat lebih inklusif.

Kementerian Desa perlu mengambil langkah strategis untuk mengintegrasikan skema ini ke dalam program pengembangan sumber daya manusia. Melalui kemitraan dengan LSP-LSP tersebut, optimalisasi anggaran dan biaya sertifikasi dapat ditekan hingga nol rupiah.

Investasi ini tidak hanya meningkatkan kualitas individu tetapi juga kredibilitas program pemberdayaan desa. Dengan langkah nyata, Kementerian Desa dapat memastikan seluruh TPP tersertifikasi tanpa terbebani persoalan biaya yang mahal.

Kolaborasi ini akan mempercepat pencapaian tujuan pembangunan berbasis desa tematik. Dengan tenaga pendamping yang kompeten, transformasi desa menuju kemandirian akan menjadi kenyataan yang lebih dekat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun