Di sela-sela kegiatan monitoring dan evaluasi ke salah satu desa, pandangan saya tertuju pada seorang pria paruh baya yang berbeda. Duduk termenung di pojok balai desa, wajahnya menampilkan guratan pengalaman. Sorot matanya menggambarkan kelelahan hidup yang seakan sulit ia sembunyikan.
Usai berbicara dengan petugas desa tentang rencana mengikuti Padat Karya Tunai Desa (PKTD), ia mulai bercerita. Dengan nada lirih, ia mengisahkan kehidupan sebelum gempa dan pandemi Covid-19 melanda. Kisahnya sarat perjuangan, menggambarkan betapa beratnya tantangan yang ia hadapi selama bertahun-tahun.
“Sebelum semua ini terjadi, saya bisa menghasilkan 300 hingga 500 ribu per hari sebagai pemandu wisata. Namun, kini untuk makan saja sulit,” ujarnya, tampak lesu. Setelah bencana bertubi-tubi melanda, ia mencoba membuka usaha sembako menggunakan sisa tabungannya.
Sayangnya, gaya hidupnya yang belum menyesuaikan situasi baru membuat usaha itu hanya bertahan beberapa bulan. Ia juga mencoba menjual masker dan pakaian bekas, tetapi kedua usaha tersebut berujung pada kerugian. “Rasanya seperti mimpi buruk yang tak berakhir,” tambahnya sambil menghela napas.
Kisah seperti ini mungkin bukan hal baru. Setiap bencana besar selalu menyisakan luka yang mendalam, terutama bagi mereka yang mengandalkan penghasilan harian. Akan tetapi, di balik setiap duka, ada proses belajar, ada upaya untuk bangkit, dan ada keikhlasan yang perlahan terwujud. Tetapi, kapan takdir menjadi takdir? Apakah itu terjadi setelah semua usaha dilakukan, ataukah saat seseorang menyerah pada keadaan?
Pembahasan tentang takdir sering kali menimbulkan perdebatan antara menerima nasib dan berusaha. Dalam pandangan Islam, takdir dibagi menjadi dua jenis, yang sudah pasti dan tidak dapat diubah disebut qada mubram, serta qada mu’allaq yakni takdir yang bisa berubah melalui doa dan usaha.
Dalam QS. Ar-Ra‘d: 11, Allah mengingatkan bahwa perubahan nasib suatu kaum bergantung pada usaha mereka untuk mengubah keadaan diri. Dengan demikian, manusia diberi kesempatan untuk berikhtiar dan berusaha memperbaiki nasibnya melalui tindakan dan doa.
Bagi pria yang bercerita tadi, takdir terasa seperti hukuman ketika bencana meluluhlantakkan kehidupannya. Walaupun begitu, ia tetap mencoba bangkit. Ia telah menjalankan berbagai usaha meski hasilnya tidak selalu memuaskan. Dalam konteks ini, kita belajar bahwa takdir bukan hanya soal menerima apa yang terjadi, tetapi juga tentang bagaimana kita meresponsnya.
Maya Angelou, seorang penyair Amerika, pernah berkata, “Orang akan melupakan apa yang Anda katakan, melupakan apa yang Anda lakukan, tetapi mereka tidak akan pernah melupakan bagaimana Anda membuat mereka merasa.” Dalam hal ini, kehadiran komunitas dan dukungan sosial menjadi sangat penting.