Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Konsultan - Penikmat Kopi

Saat ini mengabdi pada desa. Kopi satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya...

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Saat Takdir Menjadi Takdir

18 Januari 2025   13:04 Diperbarui: 18 Januari 2025   14:35 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sela-sela kegiatan monitoring dan evaluasi ke salah satu desa, pandangan saya tertuju pada seorang pria paruh baya yang berbeda. Duduk termenung di pojok balai desa, wajahnya menampilkan guratan pengalaman. Sorot matanya menggambarkan kelelahan hidup yang seakan sulit ia sembunyikan.

Usai berbicara dengan petugas desa tentang rencana mengikuti Padat Karya Tunai Desa (PKTD), ia mulai bercerita. Dengan nada lirih, ia mengisahkan kehidupan sebelum gempa dan pandemi Covid-19 melanda. Kisahnya sarat perjuangan, menggambarkan betapa beratnya tantangan yang ia hadapi selama bertahun-tahun.

“Sebelum semua ini terjadi, saya bisa menghasilkan 300 hingga 500 ribu per hari sebagai pemandu wisata. Namun, kini untuk makan saja sulit,” ujarnya, tampak lesu. Setelah bencana bertubi-tubi melanda, ia mencoba membuka usaha sembako menggunakan sisa tabungannya.

Sayangnya, gaya hidupnya yang belum menyesuaikan situasi baru membuat usaha itu hanya bertahan beberapa bulan. Ia juga mencoba menjual masker dan pakaian bekas, tetapi kedua usaha tersebut berujung pada kerugian. “Rasanya seperti mimpi buruk yang tak berakhir,” tambahnya sambil menghela napas.

Kisah seperti ini mungkin bukan hal baru. Setiap bencana besar selalu menyisakan luka yang mendalam, terutama bagi mereka yang mengandalkan penghasilan harian. Akan tetapi, di balik setiap duka, ada proses belajar, ada upaya untuk bangkit, dan ada keikhlasan yang perlahan terwujud. Tetapi, kapan takdir menjadi takdir? Apakah itu terjadi setelah semua usaha dilakukan, ataukah saat seseorang menyerah pada keadaan?

Takdir dan ikhtiar, dua hal yang tak terpisahkan (sumber: id.pinterest.com/pin/1117666832520926129/)
Takdir dan ikhtiar, dua hal yang tak terpisahkan (sumber: id.pinterest.com/pin/1117666832520926129/)

Pembahasan tentang takdir sering kali menimbulkan perdebatan antara menerima nasib dan berusaha. Dalam pandangan Islam, takdir dibagi menjadi dua jenis, yang sudah pasti dan tidak dapat diubah disebut qada mubram, serta qada mu’allaq yakni takdir yang bisa berubah melalui doa dan usaha.

Dalam QS. Ar-Ra‘d: 11, Allah mengingatkan bahwa perubahan nasib suatu kaum bergantung pada usaha mereka untuk mengubah keadaan diri. Dengan demikian, manusia diberi kesempatan untuk berikhtiar dan berusaha memperbaiki nasibnya melalui tindakan dan doa.

Bagi pria yang bercerita tadi, takdir terasa seperti hukuman ketika bencana meluluhlantakkan kehidupannya. Walaupun begitu, ia tetap mencoba bangkit. Ia telah menjalankan berbagai usaha meski hasilnya tidak selalu memuaskan. Dalam konteks ini, kita belajar bahwa takdir bukan hanya soal menerima apa yang terjadi, tetapi juga tentang bagaimana kita meresponsnya.

Maya Angelou, seorang penyair Amerika, pernah berkata, “Orang akan melupakan apa yang Anda katakan, melupakan apa yang Anda lakukan, tetapi mereka tidak akan pernah melupakan bagaimana Anda membuat mereka merasa.” Dalam hal ini, kehadiran komunitas dan dukungan sosial menjadi sangat penting.

Sebuah studi oleh Nilsen dan Knudsen (2019) yang dipublikasikan di Journal of Disaster Risk Reduction menunjukkan bahwa masyarakat yang memiliki jaringan sosial yang kuat lebih mampu pulih dari bencana dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki dukungan semacam itu.

Pria itu mengakui bahwa salah satu kesalahannya adalah tidak segera menyesuaikan gaya hidup ketika pendapatannya turun drastis. Ia percaya bahwa situasi sulit itu hanya akan berlangsung selama beberapa minggu. Ketika kenyataan berbicara lain, tabungan yang ia andalkan semakin menipis.

Hal ini sejalan dengan pandangan Nassim Nicholas Taleb dalam bukunya, Antifragile: Things That Gain from Disorder (2012). Taleb menekankan pentingnya kemampuan beradaptasi dan melihat peluang di tengah ketidakpastian sebagai cara menjadi lebih tangguh.

Namun, pembelajaran sering kali datang dengan harga yang mahal. Bagi sebagian orang, kehilangan materi mungkin bisa digantikan. Tetapi bagi orang lain, kehilangan harga diri dan harapan jauh lebih sulit dipulihkan. Takdir, dalam hal ini, sering kali terasa sebagai sesuatu yang kejam.

Meski demikian, waktu sering kali menjadi obat. Apa yang dulu terasa seperti hukuman, lambat laun berubah menjadi pelajaran berharga. Banyak orang yang pada akhirnya mampu melihat hikmah di balik kejadian yang menimpa mereka. Dalam psikologi, konsep ini dikenal sebagai post-traumatic growth (pertumbuhan pascatrauma).

Tedeschi dan Calhoun (1996) dalam jurnal Journal of Traumatic Stress menjelaskan bahwa pengalaman traumatis akan membawa seseorang pada perubahan positif, termasuk peningkatan penghargaan terhadap hidup, penguatan hubungan sosial, dan rasa spiritualitas yang lebih dalam.

Pria itu akhirnya menyadari bahwa ia perlu berhenti memandang masa lalu sebagai beban. Ia mulai menerima bahwa keadaan memang tidak akan kembali seperti dulu, tetapi itu bukan berarti ia harus menyerah. “Sekarang, saya hanya ingin melakukan yang terbaik dengan apa yang saya miliki. Kalau saya ikut PKTD, mungkin itu awal baru bagi saya,” katanya.

Berbicara tentang takdir dan keikhlasan memang mudah. Sayangnya, ketika kita sendiri yang harus mengalaminya, segalanya menjadi lebih sulit. Rasa kehilangan, penyesalan, dan kekhawatiran akan masa depan adalah emosi-emosi yang manusiawi yang sulit terbendung.

Seorang filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche, pernah berkata, “Apa yang tidak membunuh kita, membuat kita lebih kuat.” Tetapi kekuatan itu tidak datang dengan sendirinya. Ia lahir dari proses yang panjang dan melelahkan.

Dalam konteks desa, program-program seperti PKTD sering kali menjadi penyelamat bagi warga yang kehilangan mata pencaharian. Lebih dari sekadar bantuan finansial, program semacam ini juga memberi harapan dan rasa percaya diri bagi mereka yang terpuruk.

Sebuah penelitian oleh Bappenas (2020) menunjukkan bahwa program PKTD tidak hanya meningkatkan pendapatan masyarakat, tetapi juga memperkuat solidaritas sosial di desa-desa yang terdampak bencana.

Pada akhirnya, takdir menjadi indah bukan karena ia sempurna, tetapi karena kita mampu menemukan hikmah di balik setiap kejadian. Ketika pria itu merenungi perjalanan hidupnya, ia mulai memahami bahwa semua yang ia alami telah membentuknya menjadi pribadi yang lebih kuat dan bijaksana. Ia tidak lagi melihat takdir sebagai akhir, melainkan sebagai awal dari sesuatu yang baru.

Kisah ini mengingatkan kita bahwa hidup adalah perjalanan yang penuh dengan lika-liku. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan.  Dengan ikhtiar, keikhlasan, dan dukungan dari orang-orang di sekitar, setiap tantangan bisa dihadapi. Takdir mungkin sudah ditentukan, tetapi bagaimana kita menjalani takdir itu sepenuhnya ada di tangan kita.

Sebagaimana pepatah mengatakan, “Hidup adalah 10% apa yang terjadi pada kita dan 90% bagaimana kita meresponsnya.” Maka, kapan takdir menjadi takdir? Jawabannya ada pada momen ketika kita berhenti melawan dan mulai menerima, bukan dengan menyerah, tetapi dengan keberanian untuk melangkah maju.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun