Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Konsultan - Penikmat Kopi

Saat ini mengabdi pada desa. Kopi satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya...

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mati Ketawa Ala Desa: Melawan Rokok Ilegal dengan Rokok Legal?

18 Januari 2025   09:44 Diperbarui: 18 Januari 2025   09:44 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi rokok ilegal (sumber: money.kompas.com)

Di sore yang cerah di Desa Tunjung Are, Lombok Barat, riuh rendah tawa dan sorak-sorai warga memenuhi Lapangan Desa. Warga berkumpul menyaksikan pertunjukan rakyat yang penuh warna. Acara ini diinisiasi oleh Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Lombok Barat bersama Bea Cukai Mataram, sebagai bagian dari kampanye nasional bertajuk “Gempur Rokok Ilegal.” Pesan utama acara ini sederhana namun mendalam, “hindari rokok ilegal demi kebaikan bersama.”

Asisten Daerah II Setda Lombok Barat mengapresiasi antusiasme warga dalam mendukung pemberantasan rokok ilegal. “Kami minta masyarakat tidak membeli rokok ilegal karena merugikan negara,” ujarnya, menegaskan pentingnya kesadaran bersama untuk melindungi kepentingan negara.

Sementara itu, Kepala Dinas Kominfotik Lombok Barat menjelaskan pemanfaatan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT). Dana tersebut digunakan untuk pembangunan fasilitas kesehatan dan peningkatan kesejahteraan petani tembakau, sejalan dengan tujuan pemerintah memberantas rokok ilegal dan menjaga stabilitas pendapatan negara dari sektor cukai.

Namun, di balik kampanye yang tampak gemilang ini, terselip ironi. Pemerintah yang gencar memberantas rokok ilegal justru mengimbangi pesan tersebut dengan promosi konsumsi rokok legal ber-pita cukai resmi. Strategi ini memunculkan pertanyaan besar, apakah promosi rokok legal tidak bertentangan dengan upaya pengendalian tembakau secara keseluruhan?

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) telah mengadopsi berbagai strategi untuk menekan peredaran rokok ilegal. Penindakan tegas dilakukan di berbagai wilayah. Misalnya, pada Maret 2024, Bea Cukai Lhokseumawe menyita 298.000 batang rokok ilegal di Aceh Utara (Kompas Money, 15/03/2024).

Langkah serupa juga dilakukan oleh Bea Cukai Jawa Tengah dan DIY, yang berhasil mengamankan 4,5 juta batang rokok ilegal pada Maret 2023 (Kompas Regional, 02/03/2023). Kampanye seperti “Gempur Rokok Ilegal” menjadi tonggak utama dalam upaya ini.

Kebijakan kenaikan tarif cukai rokok diharapkan dapat mengendalikan konsumsi tembakau, namun kebijakan ini justru menimbulkan dilema. Harga rokok legal yang semakin mahal mendorong konsumen beralih ke rokok ilegal yang lebih murah.

Menurut penelitian Dian Rahma Dani dan Dadang Mashur dalam Jurnal Konstitusi, kenaikan cukai rokok memicu peredaran rokok ilegal di kota-kota seperti Pekanbaru. Ironisnya, kebijakan yang dirancang untuk menekan angka perokok justru membuka peluang bagi produk tanpa cukai untuk merajai pasar bawah tanah.

DJBC menggunakan pendekatan persuasif untuk melawan peredaran rokok ilegal dengan sosialisasi melalui berbagai media, termasuk acara rakyat di Desa Tunjung Are. Kampanye ini mengedukasi masyarakat tentang bahaya rokok ilegal.

Namun, kampanye tersebut secara tersirat mengajak masyarakat untuk mengonsumsi rokok legal ber-pita cukai resmi. Pendekatan ini, meskipun efektif meningkatkan kesadaran, memunculkan kontradiksi dengan tujuan utama kebijakan cukai, yaitu mengurangi prevalensi merokok.

Sebagai perbandingan, penelitian dari Kompas Money (07/11/2024) menyebutkan bahwa struktur tarif cukai yang terlalu rumit juga menjadi tantangan dalam pengendalian konsumsi tembakau.

Penyederhanaan tarif memang diharapkan dapat mengurangi peredaran rokok ilegal, namun langkah ini mendapat kritik karena dianggap memberatkan produsen kecil dan menengah. Selain itu, struktur tarif yang lebih sederhana juga dapat memengaruhi daya saing di industri tembakau.

Ironi dalam kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia mencerminkan kompleksitas isu ini. Di satu sisi, pemerintah harus melindungi penerimaan negara melalui cukai dan memberantas rokok ilegal. Di sisi lain, promosi konsumsi rokok legal sebagai alternatif justru menimbulkan pertanyaan tentang komitmen terhadap pengendalian tembakau dan kesehatan masyarakat.

Dampak ekonomi dari industri tembakau tidak dapat diabaikan. Data menunjukkan bahwa DBHCHT telah berkontribusi signifikan pada pembangunan fasilitas kesehatan, khususnya di daerah penghasil tembakau. Namun, peningkatan konsumsi rokok legal juga berisiko meningkatkan prevalensi penyakit terkait tembakau, yang pada akhirnya membebani sistem kesehatan nasional.

Beberapa ahli mengusulkan pendekatan lebih komprehensif untuk mengatasi masalah rokok ilegal, salah satunya dengan mengintegrasikan kebijakan cukai dengan program kesehatan masyarakat yang lebih luas. Misalnya, dengan mengalokasikan lebih banyak dana dari DBHCHT untuk kampanye anti-merokok serta dukungan bagi perokok yang ingin berhenti.

Penting juga untuk meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum terhadap peredaran rokok ilegal. Langkah ini bisa dilakukan dengan memperketat distribusi rokok dan memperkuat sistem pelaporan oleh masyarakat guna menanggulangi peredaran rokok ilegal yang merugikan.

Mengenai alternatif pengurangan merokok, rokok elektrik meskipun memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah dibandingkan rokok konvensional, tetap mengandung nikotin yang berpotensi menimbulkan ketergantungan. Oleh karena itu, pendekatan yang lebih efektif adalah dengan mendorong riset mengenai terapi pengganti nikotin dan solusi kesehatan lainnya.

Kembali ke Taman Desa Tunjung Are, tawa dan sorak sorai warga terus menggema. Mereka menikmati hiburan yang disajikan sembari mencerna pesan-pesan tentang bahaya rokok ilegal. Namun, di balik keriuhan itu, mungkin ada warga yang bertanya-tanya, apakah beralih dari rokok ilegal ke rokok legal benar-benar merupakan pilihan yang lebih baik?

Kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia jelas membutuhkan evaluasi yang lebih menyeluruh. Perlu ada keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan kesehatan publik. Di tengah kompleksitas ini, satu hal tetap jelas, melawan rokok ilegal tidak bisa hanya dengan mempromosikan rokok legal. Pemerintah perlu menunjukkan komitmen yang lebih konsisten dalam upaya pengendalian tembakau.

Sebagaimana diungkapkan oleh Kompas Money (25/09/2020), kebijakan yang berfokus pada peningkatan penerimaan cukai harus disertai dengan langkah-langkah konkret untuk menekan konsumsi tembakau secara keseluruhan. Jika tidak, upaya seperti kampanye “Gempur Rokok Ilegal” hanya akan menjadi ironi di tengah perjuangan untuk mewujudkan masyarakat yang lebih sehat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun