Transportasi publik merupakan nadi kehidupan masyarakat. Di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), khususnya Pulau Lombok, fungsi nadi itu semakin melemah. Gelombang modernisasi kendaraan pribadi membuat perannya tergeser, menciptakan ironi di tengah meningkatnya kebutuhan mobilitas masyarakat.
Pertumbuhan ekonomi dan pariwisata kian mendorong mobilitas, tetapi transportasi publik belum mampu bersaing. Tantangan utamanya adalah bagaimana menjadikan transportasi publik sebagai pilihan utama, tidak hanya di kota, tetapi juga di desa-desa NTB, demi mendukung konektivitas yang efisien dan inklusif bagi seluruh lapisan masyarakat.
Pulau Lombok, yang dikenal sebagai salah satu destinasi wisata unggulan Indonesia, menghadapi tantangan besar dalam menyediakan layanan transportasi yang nyaman dan inklusif. Rute-rute lokal yang dulunya menjadi tulang punggung mobilitas kini ditinggalkan.
Armada transportasi publik seperti colt-T, minibus, dan mobil carry keluaran lama mendominasi jalan-jalan utama, menjadi simbol stagnasi. Ironisnya, justru rute-rute antarpulau kini menawarkan kenyamanan lebih baik melalui moda transportasi modern seperti sleeper bus yang melayani jalur Mataram-Bima. Perbedaan kualitas ini mencerminkan ketimpangan yang nyata.
Tidak hanya itu, beberapa program transportasi publik berbasis “buy the service” (BTS) di sejumlah daerah mengalami penghentian layanan. Padahal, menurut artikel di BeritaBig.com, program angkutan perkotaan dengan skema BTS telah memberikan penghematan biaya transportasi lebih dari 50% bagi penggunanya, dengan tingkat kepuasan mencapai 78,14% (BeritaBig, 29/10/2023)
Hal ini menandakan minat masyarakat menggunakan kendaraan umum cukup tinggi, yang sebelumnya menggunakan kendaraan pribadi. Selain itu, artikel di Kompas.id (01/02/2024) menyebutkan bahwa diperlukan program seperti BTS untuk menekan penggunaan kendaraan bermotor pribadi, kemacetan, polusi, dan masalah.
Meskipun tidak menyebutkan angka spesifik, pernyataan ini mengindikasikan tujuan BTS dalam mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Hal ini menunjukkan bahwa program tersebut memiliki dampak positif terhadap pengurangan kemacetan dan efisiensi penggunaan transportasi publik (Y. Al-Adha, 2023).
Ketika program-program tersebut dihentikan, mobilitas warga terganggu dan kemacetan meningkat. Kondisi serupa terlihat di NTB, di mana halte-halte yang dibangun beberapa tahun lalu justru menjadi saksi bisu stagnasi pengembangan transportasi publik, untuk tidak mengatakan suram seperti yang ditengarai Radar Lombok (23/01/2019).
Kenangan masa lalu tentang transportasi umum di Lombok penuh dengan ironi. Ongkos yang tidak konsisten, kendaraan yang melebihi kapasitas, dan waktu tunggu yang lama menjadi pengalaman yang terus berulang. Situasi ini menciptakan ketidaknyamanan bagi penumpang dan menunjukkan lemahnya pengelolaan transportasi umum saat itu.
Praktik licik seperti penggunaan “penumpang palsu” untuk menarik penumpang sungguhan juga marak. Kebiasaan ini tidak hanya merusak kepercayaan masyarakat terhadap layanan transportasi umum, tetapi juga mendorong banyak orang beralih ke kendaraan pribadi, mengabaikan potensi transportasi umum yang lebih efisien.
Efek domino dari pilihan kendaraan pribadi kini semakin terasa. Peningkatan jumlah kendaraan ini berdampak langsung pada kemacetan di kawasan perkotaan, khususnya di Mataram. Sebuah studi menyebutkan bahwa tanpa pengembangan transportasi publik, kualitas hidup di kota akan semakin menurun akibat kemacetan dan polusi (Y. Al-Adha, 2023).
Di berbagai desa di NTB, masalah lain yang muncul adalah hilangnya layanan transportasi pedesaan. Jalur transportasi yang dulunya menghubungkan desa dengan kota secara bertahap mulai lenyap. Kondisi ini semakin membatasi akses masyarakat desa, menghambat mobilitas ekonomi dan sosial di kawasan tersebut.
Fenomena ini diperburuk oleh kemudahan dalam mendapatkan kredit kendaraan, khususnya sepeda motor. Di Lombok, sebelum diberlakukannya regulasi yang mengatur uang muka (DP), masyarakat sudah bisa memiliki sepeda motor dengan hanya membayar DP Rp 500 ribu dan tenor cicilan hingga tiga tahun, ditambah persyaratan yang sangat sederhana, seperti hanya menyertakan KTP.
Di sisi lain, desa-desa di NTB, sebagai basis ekonomi lokal, menghadapi tantangan serius dalam hal mobilitas. Transportasi umum yang tidak memadai membatasi akses masyarakat desa ke berbagai fasilitas penting, seperti pasar, layanan kesehatan, dan pendidikan. Hal ini menghambat perkembangan ekonomi dan kesejahteraan sosial di daerah tersebut.
Sebagai contoh, di Desa Lembar, Lombok Barat, akses ke layanan kesehatan di kota Mataram semakin sulit karena tidak adanya transportasi umum yang beroperasi secara teratur. Tantangan ini menunjukkan bahwa transportasi bukan hanya soal kenyamanan, tetapi juga berkaitan dengan inklusi sosial dan kesempatan ekonomi bagi masyarakat desa.
Transportasi publik memegang peran kunci dalam mencapai tujuan SDGs, khususnya SDG 11, yang menargetkan kota dan komunitas yang berkelanjutan. Fokusnya adalah pada transportasi yang aman, terjangkau, dan ramah lingkungan, yang menjadi landasan pembangunan berkelanjutan di kawasan urban.
NTB, dengan potensi pariwisatanya yang besar, memiliki peluang menjadi pelopor dalam pengembangan transportasi berkelanjutan. Namun, untuk mewujudkan potensi tersebut, diperlukan langkah konkret yang melibatkan kebijakan, infrastruktur, dan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat.
Pemerintah daerah harus memprioritaskan transportasi publik sebagai bagian dari strategi pembangunan. Inspirasi dapat diambil dari kota-kota lain di Indonesia yang telah berhasil merevitalisasi transportasi umum mereka. TransJakarta, misalnya, telah menjadi simbol keberhasilan transportasi publik modern.
Konsep serupa bisa diadaptasi di NTB dengan mempertimbangkan kebutuhan lokal. Perhatian khusus perlu diberikan pada masyarakat desa untuk memastikan aksesibilitas dan keberlanjutan transportasi publik yang mendukung mobilitas serta pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut.
Salah satu pendekatan yang mungkin dilakukan adalah membangun kemitraan dengan pemerintah desa dan sektor swasta, ditambah inovasi teknologi seperti aplikasi transportasi, akan meningkatkan layanan dan aksesibilitas transportasi umum. Keberhasilan aplikasi ride-hailing di kota-kota Indonesia akan menjadi inspirasi untuk pengembangan transportasi desa yang lebih terintegrasi..
Inovasi saja tidak cukup, perubahan pola pikir masyarakat juga diperlukan. Kampanye kesadaran publik mengenai pentingnya transportasi berkelanjutan harus digalakkan. Pemerintah, bersama komunitas lokal, perlu mengadakan program edukasi yang menekankan manfaat ekonomi dan lingkungan dari penggunaan transportasi umum.
Di desa-desa sekitar Mandalika, momentum MotoGP bisa dimanfaatkan untuk mengenalkan sistem transportasi umum yang lebih baik. Dengan arus wisatawan yang meningkat, transportasi publik yang efisien akan menjadi daya tarik tambahan bagi pariwisata NTB.
Akhirnya, keberhasilan transportasi publik di NTB tidak hanya ditentukan oleh kebijakan, tetapi juga oleh kolaborasi. Pemerintah, desa, masyarakat, dan sektor swasta harus bekerja bersama untuk menghidupkan kembali nadi transportasi publik. Dengan komitmen bersama, NTB tidak hanya akan mengatasi masalah mobilitas saat ini, tetapi juga menciptakan masa depan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Transportasi publik bukan sekadar alat berpindah tempat, tetapi juga cerminan kemajuan sebuah daerah. Ketika NTB mampu menghadirkan layanan transportasi yang layak, nyaman, dan terjangkau, denyut kehidupan masyarakat, baik di kota maupun desa, akan semakin terasa.
Seperti halte-halte di Lombok yang sempat menjadi simbol harapan, transportasi publik di NTB juga bisa kembali menjadi kebanggaan semua. Dengan langkah nyata dari semua pihak, masa depan transportasi publik di NTB masih memiliki peluang untuk kembali hidup dan relevan. Salam Berdesa!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H