Efek domino dari pilihan kendaraan pribadi kini semakin terasa. Peningkatan jumlah kendaraan ini berdampak langsung pada kemacetan di kawasan perkotaan, khususnya di Mataram. Sebuah studi menyebutkan bahwa tanpa pengembangan transportasi publik, kualitas hidup di kota akan semakin menurun akibat kemacetan dan polusi (Y. Al-Adha, 2023).
Di berbagai desa di NTB, masalah lain yang muncul adalah hilangnya layanan transportasi pedesaan. Jalur transportasi yang dulunya menghubungkan desa dengan kota secara bertahap mulai lenyap. Kondisi ini semakin membatasi akses masyarakat desa, menghambat mobilitas ekonomi dan sosial di kawasan tersebut.
Fenomena ini diperburuk oleh kemudahan dalam mendapatkan kredit kendaraan, khususnya sepeda motor. Di Lombok, sebelum diberlakukannya regulasi yang mengatur uang muka (DP), masyarakat sudah bisa memiliki sepeda motor dengan hanya membayar DP Rp 500 ribu dan tenor cicilan hingga tiga tahun, ditambah persyaratan yang sangat sederhana, seperti hanya menyertakan KTP.
Di sisi lain, desa-desa di NTB, sebagai basis ekonomi lokal, menghadapi tantangan serius dalam hal mobilitas. Transportasi umum yang tidak memadai membatasi akses masyarakat desa ke berbagai fasilitas penting, seperti pasar, layanan kesehatan, dan pendidikan. Hal ini menghambat perkembangan ekonomi dan kesejahteraan sosial di daerah tersebut.
Sebagai contoh, di Desa Lembar, Lombok Barat, akses ke layanan kesehatan di kota Mataram semakin sulit karena tidak adanya transportasi umum yang beroperasi secara teratur. Tantangan ini menunjukkan bahwa transportasi bukan hanya soal kenyamanan, tetapi juga berkaitan dengan inklusi sosial dan kesempatan ekonomi bagi masyarakat desa.
Transportasi publik memegang peran kunci dalam mencapai tujuan SDGs, khususnya SDG 11, yang menargetkan kota dan komunitas yang berkelanjutan. Fokusnya adalah pada transportasi yang aman, terjangkau, dan ramah lingkungan, yang menjadi landasan pembangunan berkelanjutan di kawasan urban.
NTB, dengan potensi pariwisatanya yang besar, memiliki peluang menjadi pelopor dalam pengembangan transportasi berkelanjutan. Namun, untuk mewujudkan potensi tersebut, diperlukan langkah konkret yang melibatkan kebijakan, infrastruktur, dan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat.
Pemerintah daerah harus memprioritaskan transportasi publik sebagai bagian dari strategi pembangunan. Inspirasi dapat diambil dari kota-kota lain di Indonesia yang telah berhasil merevitalisasi transportasi umum mereka. TransJakarta, misalnya, telah menjadi simbol keberhasilan transportasi publik modern.
Konsep serupa bisa diadaptasi di NTB dengan mempertimbangkan kebutuhan lokal. Perhatian khusus perlu diberikan pada masyarakat desa untuk memastikan aksesibilitas dan keberlanjutan transportasi publik yang mendukung mobilitas serta pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut.
Salah satu pendekatan yang mungkin dilakukan adalah membangun kemitraan dengan pemerintah desa dan sektor swasta, ditambah inovasi teknologi seperti aplikasi transportasi, akan meningkatkan layanan dan aksesibilitas transportasi umum. Keberhasilan aplikasi ride-hailing di kota-kota Indonesia akan menjadi inspirasi untuk pengembangan transportasi desa yang lebih terintegrasi..
Inovasi saja tidak cukup, perubahan pola pikir masyarakat juga diperlukan. Kampanye kesadaran publik mengenai pentingnya transportasi berkelanjutan harus digalakkan. Pemerintah, bersama komunitas lokal, perlu mengadakan program edukasi yang menekankan manfaat ekonomi dan lingkungan dari penggunaan transportasi umum.