Poligami, bagi sebagian kalangan, masih menjadi isu yang kontroversial. Namun, bagi sebagian Tuan Guru, poligami bukan sekadar pilihan pribadi, melainkan bagian dari tradisi budaya dan agama yang mereka yakini sebagai cara memperkuat keluarga dan membentuk generasi yang kuat dalam ajaran agama.
Dalam dialog santai dengan beberapa Tuan Guru yang telah menjalani poligami, muncul ungkapan yang mencerminkan keberanian mereka: “Lakukan saja dulu, curhat belakangan.” Ungkapan ini menggambarkan tekad mereka untuk mengambil keputusan besar tanpa terlampau khawatir akan tantangan atau kritik. Mereka berfokus pada menjalankan kewajiban, meskipun kesulitan pasti ada.
Namun, pandangan ini tidak terlepas dari tanggung jawab besar yang menyertai poligami. Bagi Tuan Guru, poligami dipandang sebagai upaya untuk mendidik keturunan yang shalih dan memperkuat kesinambungan nilai-nilai agama dalam kehidupan keluarga. Artikel ini mengulas pandangan mereka, tantangan, dan tanggung jawab yang melekat pada keputusan tersebut.
Poligami dalam Kehidupan Tuan Guru
Kehidupan Tuan Guru erat kaitannya dengan pendidikan dan spiritualitas. Mereka tidak hanya bertugas sebagai pembimbing agama, tetapi juga sebagai teladan dalam masyarakat. Dalam konteks poligami, mereka melihatnya sebagai langkah untuk memperluas silsilah keturunan yang baik, mendidik anak-anak dalam pondok pesantren, dan memastikan kesinambungan ajaran Islam.
Namun, poligami tidak hanya tentang memilih pasangan hidup lebih dari satu. Ini melibatkan tanggung jawab besar, termasuk memastikan keadilan, kasih sayang, dan pengorbanan yang mencakup aspek fisik, emosional, dan materi. Keputusan ini juga memerlukan keberanian untuk menghadapi berbagai tantangan sosial dan budaya.
Tips bagi Tuan Guru yang Memilih Poligami
Berdasarkan dialog dengan beberapa Tuan Guru, berikut adalah panduan yang dapat dipertimbangkan:
1. Berani Mengambil Keputusan Besar
Tuan Guru yang ingin berpoligami harus memiliki keberanian untuk menghadapi tantangan. Mereka meyakini bahwa poligami adalah bagian dari komitmen untuk memperkuat keluarga dan mendukung dakwah Islam. Keputusan besar ini harus diambil dengan niat yang tulus, bukan sekadar mengikuti dorongan emosional atau tekanan budaya maupun “tekanan” sesama tuan guru.
2. Berpikir Jangka Panjang
Banyak Tuan Guru yang memandang poligami sebagai kesempatan untuk membangun keluarga besar yang kuat. Ungkapan seperti “Kalau bukan sekarang, kapan lagi?” sering mereka gunakan untuk menggambarkan urgensi mengambil keputusan. Namun, penting untuk mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap keluarga dan komunitas.
3. Menghormati Tradisi Lokal
Dalam tradisi Sasak, konsep periri bije jari (memperbaiki keturunan) menjadi motivasi utama bagi sebagian besar Tuan Guru yang berpoligami. Mereka berharap dapat mendidik generasi yang tidak hanya unggul secara agama, tetapi juga memiliki akhlak mulia. Namun, tradisi ini juga memerlukan pendekatan yang bijak agar sesuai dengan konteks modern.
4. Tanggung Jawab Sosial
Sebagai figur publik, Tuan Guru memiliki tanggung jawab untuk memberikan contoh yang baik. Poligami tidak boleh dilihat sebagai keputusan pribadi semata, tetapi sebagai langkah yang harus membawa manfaat bagi keluarga dan masyarakat. Dukungan dari komunitas sangat penting untuk memastikan keputusan ini diterima dengan bijak.
5. Membangun Dukungan Keluarga dan Masyarakat
Poligami sering kali menimbulkan keraguan di kalangan masyarakat. Oleh karena itu, Tuan Guru perlu memberikan pemahaman yang jelas tentang niat dan tujuan mereka. Transparansi dan komunikasi yang baik dapat membantu mengurangi kesalahpahaman dan memperoleh dukungan dari keluarga serta komunitas.
Tantangan yang Harus Diatasi
Poligami membawa sejumlah tantangan yang tidak bisa diabaikan, seperti:
- Keadilan dalam Keluarga: Memastikan bahwa setiap istri dan anak mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang setara.
- Stigma Sosial: Menghadapi pandangan skeptis dari masyarakat yang mungkin menganggap poligami sebagai tindakan yang tidak relevan di era modern.
- Tekanan Emosional: Mengelola dinamika keluarga yang kompleks dan menjaga harmoni di antara anggota keluarga.
Menyelaraskan Tradisi dengan Modernitas
Tradisi seperti periri bije jari memberikan landasan kuat bagi Tuan Guru untuk menjalani poligami. Namun, mereka juga harus mempertimbangkan bagaimana tradisi ini dapat diselaraskan dengan nilai-nilai modern, termasuk kesetaraan gender dan hak asasi manusia. Pendekatan yang bijak dan terbuka terhadap perubahan zaman sangat penting untuk menjaga relevansi tradisi ini.
Penutup
Poligami bagi Tuan Guru bukan sekadar pilihan pribadi, melainkan langkah besar yang melibatkan tanggung jawab besar. Keputusan ini mencerminkan keberanian mereka untuk menghadapi tantangan dan komitmen untuk memperkuat keluarga serta mendukung dakwah Islam.
Tradisi seperti periri bije jari dan dukungan masyarakat menjadi faktor penting dalam keberhasilan poligami. Dengan niat yang tulus dan pendekatan yang bijak, Tuan Guru dapat menciptakan keluarga yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki akhlak dan spiritualitas yang kuat.
Disclaimer
Artikel ini disusun berdasarkan dialog dengan beberapa Tuan Guru yang telah menjalani poligami. Penulis tidak bermaksud menghakimi atau mengarahkan pilihan pembaca terkait poligami. Artikel ini bertujuan untuk memberikan wawasan tentang tradisi dan pandangan sebagian Tuan Guru, dengan harapan dapat menggali potensi baru dalam membangun keluarga yang berkualitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H