Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Konsultan - Penikmat Kopi

Saat ini mengabdi pada desa. Kopi satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Era Desa Tematik dan Transformasi Perangkat Desa

14 Januari 2025   12:51 Diperbarui: 14 Januari 2025   13:55 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perangkat desa di era desa tematik selain bertugas menjalankan administrasi juga menjadi fasilitator (sumber: dokpri)

Pagi itu mendung menggantung di langit, tetapi janji untuk mengunjungi sebuah desa demi memastikan persiapan perencanaan pembangunan tahun 2025 tak boleh diabaikan. Dengan langkah cepat, saya menuju kantor desa, tempat perangkat desa yang telah mengabdi selama dua dekade menyambut dengan ramah dan hangat.

Di ruang sederhana itu, pria paruh baya tersebut menceritakan pengalamannya. Dua puluh tahun bukan waktu singkat baginya menjaga jalannya pemerintahan desa. "Kami ingin memastikan rencana pembangunan tahun depan sejalan dengan regulasi yang berlaku," ujarnya, sembari mempersilakan duduk di sebuah kursi kayu tua.

Ia juga bercerita bagaimana pergantian kepemimpinan seringkali mengubah arah kebijakan desa, menciptakan ketidakpastian dalam program-program yang seharusnya berkelanjutan. Hal ini menggambarkan tantangan yang tidak hanya dihadapi perangkat desa tersebut, tetapi juga menjadi masalah struktural di banyak wilayah.

Perubahan paradigma pembangunan desa dalam beberapa dekade terakhir telah membuka peluang besar, sekaligus tantangan baru bagi desa-desa di seluruh Indonesia. Desa tematik, yang menonjolkan karakteristik unik setiap desa, menjadi pendekatan strategis yang semakin populer.

Konsep ini tidak hanya sekadar membangun infrastruktur atau memperbaiki layanan dasar, tetapi juga menggali potensi lokal guna menciptakan identitas desa yang kuat dan berbeda. Seperti yang ditegaskan oleh Menteri Desa, Yandri Susuanto dalam banyak kesempatan bahwa, desa tematik menjadi jawaban atas homogenitas desa yang seringkali membuat desa kesulitan bersaing secara ekonomi dan sosial.

Di era ini, perangkat desa tidak lagi hanya bertugas menjalankan administrasi atau melaporkan kegiatan. Peran mereka berubah menjadi fasilitator yang menghubungkan potensi desa dengan peluang eksternal. Mereka dituntut untuk memahami branding desa, merancang strategi pemasaran, dan bahkan menjalin kerja sama dengan sektor swasta maupun lembaga non-pemerintah.

Kisah sukses Desa Ponggok di Klaten, Jawa Tengah, memberikan inspirasi. Desa ini berhasil memanfaatkan sumber daya air lokal untuk menciptakan desa wisata yang menarik ribuan pengunjung. Melalui BUMDes Tirta Mandiri, Ponggok tidak hanya menciptakan lapangan kerja, tetapi juga meningkatkan pendapatan asli desa secara signifikan (Dewi & Kusuma, 2020).

Namun, di balik cerita sukses, ada tantangan besar yang harus dihadapi perangkat desa. Salah satu tantangan utama adalah keterbatasan kapasitas. Banyak perangkat desa yang belum siap menghadapi tuntutan baru di era desa tematik. Kurangnya pelatihan dan pendampingan sering kali membuat mereka kesulitan memanfaatkan peluang yang ada.

Dalam konteks ini, keberadaan regulasi seperti Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, regulasi ini memberikan keleluasaan bagi desa untuk mengelola sumber daya secara mandiri. Namun, tanpa kapasitas yang memadai, kebijakan ini justru bisa menjadi beban.

Teknologi informasi dan komunikasi menjadi dimensi lain yang harus dikuasai perangkat desa. Di era digital, desa tematik memiliki peluang besar mempromosikan identitasnya melalui media sosial, website, atau platform digital lainnya. Sayangnya, keterbatasan literasi digital masih menjadi kendala.

Banyak perangkat desa yang masih gagap teknologi, sehingga potensi besar desa dalam era digital belum tergarap maksimal. Kondisi ini menunjukkan perlunya investasi pada pelatihan digital sebagai kebutuhan mendesak. Dengan kemampuan teknologi yang memadai, desa dapat bersaing dalam dunia yang semakin terhubung dan dinamis.

Lebih dari sekadar menguasai teknologi, perangkat desa juga harus mampu menjadi jembatan antara tradisi dan modernitas. Desa tematik yang ideal adalah desa yang mampu mengintegrasikan aspek tradisional dan inovasi modern secara harmonis, menciptakan keseimbangan yang memperkaya identitas lokal sekaligus merangkul kemajuan.

Sebagai contoh, Desa Kediri di Lombok Barat berhasil mengangkat produksi kopiah haji dengan motif khas Sasak menjadi identitas unik yang menggerakkan ekonomi lokal (Azizah, 2021). Tradisi lokal tetap terjaga, sementara inovasi modern memberikan nilai tambah yang signifikan.

Kesadaran kolektif masyarakat menjadi elemen krusial lain dalam keberhasilan desa tematik. Perangkat desa tidak bisa bekerja sendiri. Mereka membutuhkan dukungan dari semua elemen masyarakat, termasuk kelompok marginal. Dalam hal ini, keterampilan komunikasi menjadi modal utama.

Perangkat desa harus mampu menyampaikan visi mereka dengan cara yang inklusif, melibatkan semua pihak dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini menciptakan rasa memiliki yang kuat di kalangan warga, yang pada gilirannya mendorong keberlanjutan program desa tematik.

Kolaborasi menjadi kunci keberhasilan lain yang tidak boleh diabaikan. Perangkat desa perlu membangun jejaring dengan berbagai pihak, mulai dari pemerintah daerah, sektor swasta, hingga komunitas global.

Kolaborasi ini tidak hanya memperkuat sumber daya desa, tetapi juga membuka akses ke pasar yang lebih luas. Desa tematik yang berhasil adalah desa yang mampu menjadi pusat inovasi lokal, sekaligus kompetitor di tingkat global.

Pada akhirnya, keberhasilan desa tematik terletak pada kemampuan perangkat desa untuk bertransformasi. Mereka tidak lagi sekadar pelaksana tugas administratif, tetapi agen perubahan yang membawa desa menuju keberlanjutan.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Amartya Sen dalam Development as Freedom (1999), pembangunan sejati adalah tentang memperluas kebebasan individu dan masyarakat untuk mencapai potensi mereka sepenuhnya. Dalam konteks desa tematik, kebebasan ini diwujudkan melalui pemberdayaan lokal yang inklusif dan berkelanjutan. Perangkat desa, dengan segala tantangannya, menjadi ujung tombak dalam upaya ini.

Dengan memahami potensi lokal, memanfaatkan teknologi, dan membangun jejaring yang kuat, desa tematik tidak hanya menjadi strategi pembangunan, tetapi juga cara untuk membuktikan bahwa desa memiliki peran strategis dalam pembangunan nasional.

Era ini bukan sekadar tantangan, tetapi juga peluang untuk menunjukkan bahwa desa adalah pusat inovasi dan kreativitas yang mampu bersaing di tingkat global. Selama perangkat desa mampu menjawab tantangan tersebut, masa depan desa tematik di Indonesia akan semakin cerah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun