Ketika menyeberang jalan di kota Mataram, sebuah pengalaman sederhana memantik perenungan tentang budaya berkendara. Dengan melambaikan tangan sebagai isyarat, harapannya sederhana, pengendara motor yang melaju dari arah kanan akan melambat untuk memberi ruang bagi pejalan kaki.
Namun, alih-alih mengurangi kecepatan, pengendara justru semakin memacu kendaraannya. Adegan ini kontras dengan kenangan di Jakarta, kota besar yang hiruk-pikuk. Di sana, isyarat serupa sering kali direspons dengan perlambatan kendaraan dan pemberian jalan kepada pejalan kaki.
Mengapa kesabaran berkendara di kota besar seperti Jakarta lebih terlihat dibandingkan di kota kecil seperti Mataram? Pertanyaan ini membuka diskusi panjang mengenai budaya, tata kelola lalu lintas, dan pola perilaku masyarakat urban maupun semi-urban di Indonesia.
Jakarta sering disebut sebagai kota dengan lalu lintas yang padat dan semrawut. Namun, kota ini memiliki sistem pengelolaan transportasi yang lebih kompleks. Edukasi berlalu lintas yang intensif dan penegakan hukum yang konsisten menjadi faktor penting yang membentuk perilaku pengguna jalan.
Interaksi sosial di jalan raya di kota besar dipengaruhi oleh norma-norma yang berkembang akibat tingginya intensitas pengguna jalan. Tekanan sosial memainkan peran penting dalam membangun kesadaran kolektif. Aturan dan kebiasaan yang terbangun menciptakan dinamika unik dalam perilaku berlalu lintas.
Sebaliknya, lalu lintas di kota kecil cenderung memiliki karakteristik berbeda. Kurangnya tekanan sosial seperti di kota besar membuat norma berlalu lintas berkembang dengan pola yang lebih sederhana. Kebiasaan dan aturan di kota kecil seringkali tidak seintensif di kota metropolitan.
Mataram memiliki lalu lintas yang berbeda dibandingkan kota besar. Jalanan yang relatif lengang, meski ramai di waktu tertentu, menciptakan ilusi kebebasan berkendara. Dalam kondisi ini, pengendara sering merasa memiliki kendali penuh atas jalan, mengabaikan pengguna lain.
Fenomena ini dalam psikologi sosial dikenal sebagai sense of personal space. Istilah ini merujuk pada jarak fisik dan emosional yang individu pertahankan di berbagai situasi. Ketika ruang terasa longgar, perilaku seseorang cenderung lebih bebas atau tidak terikat norma (Gifford, R. 2014).
Dalam lalu lintas Mataram, ruang yang longgar memberi pengendara perasaan kebebasan. Namun, kebebasan ini sering kali menyebabkan pengabaian terhadap keselamatan atau hak pengguna jalan lain. Akibatnya, potensi risiko kecelakaan menjadi lebih besar tanpa disadari.
Regulasi lalu lintas yang efektif diperlukan untuk mengatasi masalah ini. Namun, regulasi saja tidak cukup tanpa edukasi yang menyeluruh. Edukasi dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya berbagi ruang dan bertindak sesuai norma yang berlaku.