Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Konsultan - Penikmat Kopi

Saat ini mengabdi pada desa. Kopi satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya...

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Pilihan

Kota Besar, Kota Kecil, dan Dinamika Kesabaran Berkendara di Jalan Raya

11 Januari 2025   23:16 Diperbarui: 11 Januari 2025   23:16 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika menyeberang jalan di kota Mataram, sebuah pengalaman sederhana memantik perenungan tentang budaya berkendara. Dengan melambaikan tangan sebagai isyarat, harapannya sederhana, pengendara motor yang melaju dari arah kanan akan melambat untuk memberi ruang bagi pejalan kaki.

Namun, alih-alih mengurangi kecepatan, pengendara justru semakin memacu kendaraannya. Adegan ini kontras dengan kenangan di Jakarta, kota besar yang hiruk-pikuk. Di sana, isyarat serupa sering kali direspons dengan perlambatan kendaraan dan pemberian jalan kepada pejalan kaki.

Mengapa kesabaran berkendara di kota besar seperti Jakarta lebih terlihat dibandingkan di kota kecil seperti Mataram? Pertanyaan ini membuka diskusi panjang mengenai budaya, tata kelola lalu lintas, dan pola perilaku masyarakat urban maupun semi-urban di Indonesia.

Jakarta sering disebut sebagai kota dengan lalu lintas yang padat dan semrawut. Namun, kota ini memiliki sistem pengelolaan transportasi yang lebih kompleks. Edukasi berlalu lintas yang intensif dan penegakan hukum yang konsisten menjadi faktor penting yang membentuk perilaku pengguna jalan.

Interaksi sosial di jalan raya di kota besar dipengaruhi oleh norma-norma yang berkembang akibat tingginya intensitas pengguna jalan. Tekanan sosial memainkan peran penting dalam membangun kesadaran kolektif. Aturan dan kebiasaan yang terbangun menciptakan dinamika unik dalam perilaku berlalu lintas.

Sebaliknya, lalu lintas di kota kecil cenderung memiliki karakteristik berbeda. Kurangnya tekanan sosial seperti di kota besar membuat norma berlalu lintas berkembang dengan pola yang lebih sederhana. Kebiasaan dan aturan di kota kecil seringkali tidak seintensif di kota metropolitan.

Mataram memiliki lalu lintas yang berbeda dibandingkan kota besar. Jalanan yang relatif lengang, meski ramai di waktu tertentu, menciptakan ilusi kebebasan berkendara. Dalam kondisi ini, pengendara sering merasa memiliki kendali penuh atas jalan, mengabaikan pengguna lain.

Fenomena ini dalam psikologi sosial dikenal sebagai sense of personal space. Istilah ini merujuk pada jarak fisik dan emosional yang individu pertahankan di berbagai situasi. Ketika ruang terasa longgar, perilaku seseorang cenderung lebih bebas atau tidak terikat norma (Gifford, R. 2014).

Dalam lalu lintas Mataram, ruang yang longgar memberi pengendara perasaan kebebasan. Namun, kebebasan ini sering kali menyebabkan pengabaian terhadap keselamatan atau hak pengguna jalan lain. Akibatnya, potensi risiko kecelakaan menjadi lebih besar tanpa disadari.

Regulasi lalu lintas yang efektif diperlukan untuk mengatasi masalah ini. Namun, regulasi saja tidak cukup tanpa edukasi yang menyeluruh. Edukasi dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya berbagi ruang dan bertindak sesuai norma yang berlaku.

Pada skala makro, membangun perilaku berkendara yang aman membutuhkan pendekatan integratif. Regulasi lalu lintas, pendidikan sosial, dan kesadaran individu harus berjalan beriringan. Dengan demikian, kebebasan berkendara tidak mengorbankan keselamatan dan ketertiban di jalan raya.

Jepang menjadi contoh bagaimana budaya kesabaran di jalan terbentuk melalui pendidikan dan kesadaran kolektif. Di Tokyo, meskipun lalu lintas padat, pengendara sangat memperhatikan pejalan kaki. Hal ini tercipta dari proses edukasi panjang yang dimulai sejak usia dini.

Anak-anak di Jepang diajarkan pentingnya menghormati sesama pengguna jalan melalui kurikulum sekolah. Modul tentang etika berlalu lintas menjadi bagian penting pendidikan, membentuk pola pikir menghargai pejalan kaki dan pengendara lain di jalan sejak dini.

Implementasi teknologi di Jepang turut mendukung budaya santun di jalan. Lampu lalu lintas pintar dan jalur khusus pejalan kaki menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman. Teknologi ini memperkuat perilaku tertib, mengurangi potensi konflik antara pengendara dan pejalan kaki.

Negara Skandinavia, seperti Swedia, menerapkan kebijakan Vision Zero untuk menghapus kecelakaan fatal. Kebijakan ini menggabungkan desain jalan, edukasi, dan penegakan hukum. Desain jalan di area padat dibuat untuk memaksa pengendara melambat, meningkatkan keselamatan semua pengguna jalan.

Menurut The Swedish Transport Administration (2018), keberhasilan Vision Zero terletak pada tanggung jawab bersama antara pengguna jalan dan otoritas. Integrasi perencanaan urban, edukasi, dan penegakan hukum menciptakan pola perilaku hati-hati yang secara otomatis mengurangi risiko kecelakaan lalu lintas.

Untuk mengadopsi perubahan di Indonesia, khususnya di kota kecil seperti Mataram, pendekatan berbasis komunitas diperlukan. Kesadaran bersama dapat diperkuat melalui program edukasi masyarakat yang melibatkan kampanye berlalu lintas di sekolah-sekolah serta lingkungan RT/RW sebagai langkah awal yang konkret.

Kampanye ini bisa lebih efektif jika melibatkan tokoh lokal untuk menyuarakan pentingnya kesabaran dan penghormatan di jalan raya. Kehadiran mereka, sebagai panutan masyarakat, dapat membangun kepercayaan dan mendorong perubahan pola pikir dalam berlalu lintas secara lebih luas.

Dalam jangka panjang, pengembangan desain infrastruktur jalan yang mendukung keselamatan harus diintegrasikan dengan penegakan hukum yang konsisten. Langkah ini menciptakan sinergi antara aspek fisik dan regulasi, memastikan pengemudi memahami sekaligus menaati aturan yang berlaku di jalan raya.

Pengalaman di Mataram mencerminkan dinamika besar yang melibatkan kebijakan dan pola pikir individu. Setiap kendaraan yang melaju menyimpan cerita tentang budaya, kebiasaan, serta norma yang memengaruhi perilaku berlalu lintas, memperlihatkan pentingnya pendekatan holistik dalam mengubah perilaku pengemudi.

Perubahan budaya berkendara tidak dapat dicapai dalam semalam. Namun, dengan langkah-langkah kecil yang konsisten dan berkelanjutan, harapan akan terciptanya budaya berkendara yang santun dan aman dapat diwujudkan, membawa dampak positif bagi keselamatan dan kenyamanan masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun