Reforma agraria bukan sekadar isu pertanahan; ia menjadi salah satu langkah nyata menghadirkan keadilan sosial dan pemberdayaan masyarakat. Dalam konteks ini, keberadaan Badan Bank Tanah memiliki arti strategis. Lembaga ini dirancang guna memastikan pengelolaan aset tanah negara dapat mendukung redistribusi lahan yang adil dan berkelanjutan.
Sesuai amanat Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2021, Badan Bank Tanah memiliki tugas utama mengelola aset tanah negara. Selain itu, lembaga ini wajib mengalokasikan paling sedikit 30 persen dari Hak Pengelolaan Lahan (HPL) untuk Reforma Agraria. Kebijakan ini memberikan harapan baru bagi masyarakat yang selama ini tidak memiliki akses terhadap tanah.
Masyarakat yang memenuhi kriteria sebagai subjek Reforma Agraria akan mendapatkan Hak Pakai di atas HPL. Proses ini dilakukan melalui verifikasi oleh Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA). Hak Pakai tersebut berlaku selama 10 tahun, dengan syarat lahan dimanfaatkan secara optimal. Jika terpenuhi, masyarakat berhak memperoleh Sertifikat Hak Milik (SHM).
Skema redistribusi lahan ini dirancang secara sistematis guna memastikan keberhasilannya. Dalam tahap awal, Badan Bank Tanah menyusun rencana induk untuk menentukan lokasi Hak Pengelolaan Lahan (HPL). Tahapan ini menjadi fondasi pengajuan alokasi Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) kepada Menteri ATR/BPN.
Setelah penentuan lokasi HPL, proses berlanjut pada penetapan subjek dan objek redistribusi. Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA), yang dipimpin oleh bupati atau wali kota, bertanggung jawab melaksanakan penetapan tersebut. Setiap pihak memiliki peran penting memastikan program berjalan sesuai tujuan awal.
Pengalaman negara lain menunjukkan keberhasilan program reforma agraria jika dilaksanakan dengan pendekatan kolaboratif. Brasil, misalnya, melalui Instituto Nacional de Colonização e Reforma Agrária (INCRA), berhasil menyediakan lahan bagi petani kecil dan masyarakat adat. Pendekatan ini terbukti mampu mengurangi ketimpangan kepemilikan tanah secara signifikan.
Koordinasi lintas sektor menjadi kunci keberhasilan reforma agraria di Brasil. Pemerintah pusat dan daerah bekerja sama memastikan redistribusi tanah terlaksana dengan baik. Indonesia dapat belajar dari model ini untuk mengoptimalkan pelaksanaan reforma agraria, khususnya dalam koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah.
Redistribusi lahan juga berkontribusi langsung pada pembangunan ekonomi lokal. Salah satu contoh di Indonesia adalah pemanfaatan 7,5 hektare HPL di Desa Tengkurak, Serang. Lahan ini digunakan untuk budidaya bandeng dan rumput laut, yang tidak hanya meningkatkan perekonomian lokal tetapi juga menguatkan kapasitas masyarakat dalam mengelola sumber daya.
Program seperti di Desa Tengkurak menjadi bukti bahwa reforma agraria dapat mendorong inovasi lokal. Dengan memanfaatkan tanah secara optimal, masyarakat memiliki peluang meningkatkan taraf hidup mereka. Model ini juga membuka jalan bagi pengembangan usaha kecil dan menengah di tingkat desa.
Pengawasan dan pengendalian penggunaan tanah menjadi elemen penting dalam keberlanjutan program reforma agraria. Kementerian ATR/BPN bertanggung jawab melegalisasi Hak Pakai masyarakat. Setelah 10 tahun, jika tanah dimanfaatkan sesuai aturan, SHM akan diterbitkan sebagai bentuk kepastian hak milik.