Tahun 2025 membawa tantangan besar bagi Indonesia dalam upaya menurunkan prevalensi stunting. Lebih dari sekadar isu kesehatan, stunting merupakan ancaman serius terhadap pembangunan manusia yang akan memengaruhi daya saing bangsa di masa depan. Menyadari urgensi ini, pemerintah terus mendorong pemberdayaan masyarakat sebagai salah satu solusi utama.
Di tengah kompleksitas persoalan stunting, kolaborasi lintas generasi muncul sebagai pendekatan inovatif yang menawarkan harapan baru. Generasi X, Y, dan Z, dengan karakteristik unik masing-masing, memiliki peran strategis dalam mendampingi masyarakat mengatasi persoalan ini.
Generasi X, Y, dan Z memiliki karakteristik unik yang saling melengkapi, membawa keahlian, perspektif, dan pendekatan berbeda. Sinergi mereka berpotensi menciptakan dampak besar, berkelanjutan, dan efektif dalam mendampingi masyarakat mengatasi stunting.
Generasi X, yang lahir antara 1965 dan 1980, dikenal sebagai generasi pekerja keras dengan pendekatan praktis. Mereka memiliki pengalaman lapangan yang luas, menjadi modal penting dalam memberikan panduan teknis. Pengetahuan mendalam mereka akan sangat membantu dalam pengambilan keputusan berbasis data, sebuah keahlian yang sangat diperlukan dalam program-program intervensi stunting (Twenge, 2010).
Generasi Y, atau milenial, lahir antara 1981 dan 1996, membawa kemampuan adaptif terhadap teknologi. Mereka mampu memanfaatkan media digital sebagai media edukasi dan advokasi. Dengan cara ini, informasi mengenai pentingnya gizi dan pola hidup sehat menjangkau lebih banyak orang dalam waktu singkat. Teknologi menjadi alat transformasi, memungkinkan transparansi dan akuntabilitas dalam pelaporan hasil program (Howe & Strauss, 2000).
Sementara itu, Generasi Z yang lahir setelah 1997, dikenal melek teknologi dan kreatif. Mereka mampu menyampaikan pesan-pesan penting melalui pendekatan visual yang interaktif dan menarik. Generasi ini, dengan ide-ide segar mereka, menjadi garda depan kampanye kesadaran di kalangan muda dan keluarga muda di desa (Prensky, 2001).
Di salah satu desa di Lombok Tengah, strategi ini diterapkan dalam program pemberian makanan tambahan (PMT). Generasi Z membuat video pendek menarik yang menyampaikan pentingnya gizi bagi anak yang disebar melalui pelbagai WA grup yang ada di desa. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran ibu muda secara efektif melalui konten visual edukatif.
Generasi Y mendukung dengan mengembangkan aplikasi sederhana yang digunakan mencatat pertumbuhan balita, sebelum diinput ke dashboard e-HDW. Data yang dikumpulkan membantu kader desa memantau perkembangan anak secara akurat. Generasi X, sebagai mentor, membantu kader memahami data dan menentukan langkah-langkah yang tepat untuk intervensi selanjutnya.
Hasilnya, partisipasi masyarakat meningkat dalam waktu tiga bulan sejak implementasi. Kolaborasi antargenerasi ini menunjukkan efektivitasnya dalam membangun kesadaran dan mendorong keterlibatan masyarakat, menciptakan model pemberdayaan yang diterapkan di desa lain dengan tantangan serupa (Hasil monev lapangan, 09/2024).
Namun, sinergi lintas generasi ini bukan tanpa tantangan. Perbedaan cara pandang dan pendekatan sering kali memicu gesekan. Generasi X, misalnya, cenderung memandang pendekatan digital sebagai sesuatu yang kurang efektif di lapangan. Sebaliknya, Generasi Z menganggap metode manual terlalu lambat dan tidak relevan dengan kebutuhan zaman. Ketegangan seperti ini menghambat kerja tim jika tidak dikelola dengan baik.