Nataru, akronim dari Natal dan Tahun Baru, selalu menjadi momentum perenungan bersama. Bagi umat Kristiani, Natal adalah momen sakral mengenang kelahiran Kristus. Sementara itu, pergantian tahun menjadi penanda universal bagi semua orang, tanpa memandang agama, untuk mengevaluasi perjalanan hidup.
Bagi sebagian umat Islam di Indonesia, isu seputar ucapan "Selamat Natal" terus menjadi diskusi yang tak kunjung berujung. Banyak yang memilih tidak mengucapkan, bukan karena kebencian, tetapi lebih karena keyakinan religius yang mereka pegang. Dalam konteks ini, penghormatan tak selalu harus diartikulasikan dalam bentuk verbal. Sikap hormat bisa diwujudkan melalui perilaku, seperti menciptakan suasana damai dan penuh toleransi.
Perdebatan ini sering muncul karena Indonesia adalah negara dengan keberagaman yang luar biasa. Dalam satu desa, bisa ditemukan berbagai keyakinan hidup berdampingan. Di sini, sensitivitas sosial menjadi kunci menjaga harmoni. Pendamping desa sebagai aktor pemberdayaan di garda terdepan memiliki tanggung jawab besar membangun kesadaran kolektif pentingnya menghormati perbedaan.
Desa adalah miniatur dari Indonesia. Dalam ruang ini, interaksi antarkelompok agama sering kali lebih intens dibandingkan dengan kota besar. Pendamping desa, yang memiliki kedekatan langsung dengan masyarakat, harus menjadi fasilitator menjaga harmoni ini. Salah satu caranya adalah dengan mendukung inisiatif yang mempromosikan dialog lintas agama.
Pada momen Nataru, pendamping desa dapat menginisiasi kegiatan berbasis budaya yang melibatkan semua elemen masyarakat tanpa menonjolkan aspek religius tertentu. Misalnya, gotong royong membersihkan lingkungan menjelang akhir tahun atau mengadakan diskusi kebangsaan. Aktivitas seperti ini menunjukkan bahwa kebersamaan lebih bermakna daripada sekadar formalitas ucapan (Susanto, 2020).
Dalam tradisi Islam, menghormati keyakinan orang lain adalah bagian dari ajaran dasar. Al-Qur’an Surah Al-Kafirun ayat 6, misalnya, menegaskan prinsip "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku." Ayat ini tidak memerintahkan umat Islam untuk menolak keberadaan agama lain, melainkan mengajarkan sikap saling menghormati dalam perbedaan (Rais, 2018).
Namun, penghormatan tidak berarti harus melanggar batas keyakinan pribadi. Banyak ulama kontemporer menyatakan bahwa seorang Muslim tidak diwajibkan mengucapkan "Selamat Natal," tetapi wajib menjaga hubungan baik dengan tetangga Kristiani. Hal ini mencerminkan nilai universal tentang kemanusiaan, yang juga dijunjung tinggi dalam agama Islam.
Dalam konteks desa, peran pendamping desa menjadi semakin penting turut serta merawat harmoni. Ketika perbedaan pandangan terkait ucapan Natal mencuat, pendamping desa dapat mengambil peran sebagai penengah. Pendekatan yang dilakukan harus bersifat persuasif, dengan mengedepankan pemahaman tentang pentingnya hidup berdampingan secara damai.
Dalam studi yang dilakukan oleh LIPI (2017), desa-desa yang memiliki pendamping aktif dalam memfasilitasi dialog lintas agama terbukti lebih mampu menjaga stabilitas sosial. Hasil penelitian ini menegaskan bahwa pendamping desa tidak hanya bertugas pada aspek pembangunan fisik, tetapi juga menjadi katalis dalam membangun hubungan sosial yang sehat.
Toleransi, bagaimanapun, tidak hanya soal tindakan. Bahasa yang digunakan oleh pendamping desa dalam setiap kesempatan juga mencerminkan sejauh mana ia memahami konteks keberagaman. Kata-kata sederhana seperti "Kita berbeda, tetapi tetap satu keluarga" mampu menciptakan suasana yang hangat.