Menulis adalah tentang merekam momen, perasaan, dan gagasan yang melekat di hati. Setahun ke belakang menjadi perjalanan panjang yang penuh warna. Di antara artikel yang saya tulis sejak September, empat di antaranya menyimpan kesan mendalam. Empat artikel itu bukan hanya tentang kata-kata, tetapi juga tentang perjalanan emosi dan cerita yang begitu dekat.
Artikel pertama, “Ironi Menjadi Koordinator Pendamping Desa,” adalah refleksi dari pengalaman pribadi yang kompleks. Tulisan ini mengurai realitas profesi yang sering kali penuh tantangan, namun tetap menjadi arena perjuangan.
Respon yang datang beragam, mulai dari dukungan, kritik, hingga renungan mendalam. Artikel ini mengingatkan saya bahwa menulis adalah tentang membuka ruang dialog, menghadirkan perspektif yang sering kali terlupakan (Pirie, 2015).
Kemudian ada artikel “Kami Memanggilnya, Mas Jon.” Artikel ini membawa saya kembali ke masa-masa kuliah yang sulit, ketika hidup penuh keterbatasan. Mas Jon, sosok sederhana, hadir sebagai penolong di tengah kekalutan. Ia seperti diutus Tuhan sebagai jawaban dari doa-doa yang saya panjatkan.
Menulis kisah ini adalah cara saya mengabadikan kebaikan dan ketulusan yang melampaui kata-kata. Kisah seperti ini mengingatkan bahwa manusia sering kali menjadi jawaban bagi manusia lainnya.
Lalu ada artikel ketiga, “The End of Pendamping Desa: Putusnya Kontrak Tahunan Berlanjut ke PPPK.” Artikel ini mencatat momen penting yang menyentuh banyak orang. Dalam lingkup pekerjaan sebagai pendamping desa, isu perpanjangan kontrak dan harapan menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) adalah tema besar.
Artikel ini menjadi yang paling banyak dibaca, menyentuh hati banyak pendamping desa. Hampir setiap grup yang saya ikuti dipenuhi komentar “Aamiin” sebagai bentuk doa dan harapan. Di balik statistik pembaca, artikel ini adalah suara kolektif yang menggaungkan mimpi bersama.
Artikel keempat, “Ahmad Fauzan Nasution: Dari Kampus PTIQ Jakarta ke Kursi Wakil Bupati,” menghadirkan haru yang sulit dijelaskan. Ahmad Fauzan, teman seperjuangan, kini menduduki posisi yang tak pernah terbayang sebelumnya. Kami dulu mahasiswa yang selalu resah "bernegara", dengan mimpi yang terasa sangat-sangat jauh dari panggung politik.
Resah bukan karena tak punya jawaban, tetapi resah tersebab melihat celah antara realitas dan mimpi-mimpi besar tentang negara yang adil, berdaulat, dan bermartabat. Resah, karena sadar bahwa setiap langkah menuju perubahan sering kali tersandung oleh sistem yang sudah mapan, dan melawan arus besar kekuasaan membutuhkan keberanian luar biasa.
Menulis artikel ini membawa campuran emosi, antara bangga dan harapan besar. Melalui pesan pribadi, saya mengingatkan Fauzan tentang nilai-nilai yang kami perjuangkan dulu, nilai-nilai yang tak boleh mati. Tulisan ini menjadi saksi bahwa perjalanan hidup bisa membawa kita ke tempat yang tak pernah kita sangka.
Dampak dari keempat artikel ini memang belum sepenuhnya terlihat. Namun, setidaknya tulisan tentang PPPK telah memberi harapan bagi banyak orang. Doa-doa yang dipanjatkan setelah membaca artikel itu adalah bukti bahwa menulis bisa menjadi sarana kecil untuk menyemai harapan. Dalam konteks pendamping desa, harapan seperti ini adalah energi yang tak ternilai.
Melihat ke belakang, saya menyadari betapa setiap tulisan adalah jejak yang tak pernah hilang. Sekian artikel lebih yang saya tulis adalah kumpulan momen, ide, dan perjuangan. Empat artikel yang berkesan ini hanyalah sebagian kecil dari perjalanan menulis yang terus berkembang.
Namun, di balik semua itu, ada satu kecemasan yang masih menggantung: kontrak tahun 2025 sebagai pendamping desa masih menunggu. Deg-degan tentu ada, meski segala syarat sudah dipenuhi. Harapan tetap saya gantungkan pada Tuhan dengan istiqamah menjalani tugas.
Menulis, bagi saya, adalah cara untuk terus berjalan, untuk mengingatkan diri sendiri dan orang lain bahwa setiap langkah kecil memiliki arti. Dalam perjalanan menulis ini, saya belajar bahwa kata-kata memiliki kekuatan untuk menghubungkan, menginspirasi, dan memberi harapan. Dan selama itu terus berjalan, saya yakin, akan selalu ada cerita baru untuk dituliskan.
Namun, apa yang membuat menulis menjadi lebih bermakna adalah bagaimana tulisan itu berinteraksi dengan pembaca. Setiap komentar, baik yang bernada mendukung maupun yang kritis, adalah cerminan dari bagaimana tulisan tersebut mampu menyentuh sesuatu di dalam diri mereka.
Artikel pertama, tentang ironi menjadi koordinator pendamping desa, misalnya, memancing banyak perdebatan. Beberapa pembaca bahkan menghubungi saya secara pribadi untuk berbagi pengalaman serupa. Hal ini mengajarkan saya bahwa tulisan tidak hanya tentang apa yang ingin kita katakan, tetapi juga tentang apa yang ingin didengar oleh orang lain.
Di sisi lain, kisah Mas Jon dalam artikel kedua tidak hanya mengembalikan ingatan saya ke masa lalu, tetapi juga membuka mata banyak pembaca tentang pentingnya menghargai orang-orang sederhana yang sering kali menjadi pahlawan tanpa tanda jasa.
Beberapa rekan seangkatan bahkan menghubungi saya setelah membaca tulisan ini, mengungkapkan betapa kisah itu juga mengingatkan mereka pada sosok-sosok serupa dalam hidup mereka yang kadang terlupakan.
Artikel ketiga, tentang PPPK, menjadi bukti nyata bahwa tulisan bisa menjadi sarana aspirasi kolektif. Dalam sebuah forum diskusi online, saya menemukan artikel ini dibagikan oleh seseorang yang tidak saya kenal, disertai komentar yang penuh semangat.
Rasanya seperti melihat tulisan itu hidup dan menemukan jalannya sendiri di luar kendali saya. Momen ini menjadi pengingat bahwa setiap kata yang kita tulis memiliki potensi untuk melampaui batas-batas yang kita bayangkan.
Kisah Ahmad Fauzan dalam artikel keempat mungkin adalah yang paling personal bagi saya. Menulis tentang seorang teman yang mencapai posisi penting adalah tantangan tersendiri. Saya ingin memastikan bahwa tulisan itu tidak hanya menjadi sekadar pujian, tetapi juga refleksi mendalam tentang perjalanan hidup kami.
Pesan yang saya kirimkan kepadanya setelah artikel itu terbit adalah bentuk lain dari tanggung jawab saya sebagai seorang teman. Saya berharap tulisan itu tidak hanya menjadi dokumentasi, tetapi juga pengingat tentang nilai-nilai yang pernah kami perjuangkan bersama.
Dengan semua pengalaman ini, saya merasa bahwa setahun terakhir adalah perjalanan yang penuh pelajaran. Setiap artikel yang saya tulis, baik yang berkesan maupun yang mungkin terlupakan, adalah bagian dari mozaik yang membentuk saya sebagai seorang penulis.
Dan meskipun masih ada ketidakpastian tentang masa depan, khususnya tentang status saya sebagai pendamping desa untuk tahun 2025, saya percaya bahwa selama masih ada kata-kata yang bisa saya tulis, akan selalu ada alasan untuk terus maju.
Pada akhirnya, menulis adalah tentang memberikan diri kita kesempatan bermimpi, merefleksikan, dan membagikan apa yang kita miliki kepada dunia. Dan selama kita masih bisa bermimpi, dunia ini akan selalu menjadi tempat yang penuh kemungkinan-kemungkinan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H