Di balik hiruk-pikuk kebijakan pendidikan, pendidikan anak usia dini (PAUD) kerap luput dari perhatian. Padahal, PAUD adalah pondasi penting bagi pembangunan sumber daya manusia. Pemilihan PAUD di desa menjadi langkah strategis guna memastikan akses pendidikan berkualitas bagi semua, tanpa terkecuali.
UNICEF mencatat bahwa investasi pada pendidikan usia dini memiliki pengembalian yang tinggi secara sosial dan ekonomi (UNICEF, 2023). Anak-anak yang mendapatkan pendidikan PAUD cenderung memiliki prestasi akademik lebih baik dan peluang kerja yang lebih tinggi di masa depan. Namun, mengapa fokus pada desa?
Desa adalah wajah sejati Indonesia. Sekitar 74,5 persen desa di Indonesia memiliki fasilitas PAUD (BPS, 2022), tetapi tantangan seperti keterbatasan fasilitas, tenaga pengajar, dan kurikulum yang kurang relevan masih membayangi. Memilih PAUD di desa adalah langkah menutup kesenjangan pendidikan antara kota dan desa.
Di desa, PAUD bukan sekadar tempat belajar. Ia menjadi ruang interaksi sosial, tempat anak-anak mengenal lingkungan dan budaya lokal. Menurut Tilaar (2019), pendidikan harus kontekstual, menyatu dengan tradisi dan nilai lokal. PAUD di desa memiliki keunikan ini: menjadi jembatan antara pendidikan modern dan tradisi.
Namun, pertanyaannya adalah bagaimana PAUD di desa mampu menghadirkan kualitas? Kuncinya ada pada komunitas. Orang tua, perangkat desa, dan guru harus berkolaborasi menciptakan lingkungan belajar yang mendukung. Studi oleh World Bank (2021) menunjukkan bahwa partisipasi aktif komunitas meningkatkan efektivitas pendidikan.
Di Lombok, misalnya, banyak PAUD berbasis komunitas tumbuh dengan pendekatan lokal. Mereka menggunakan cerita rakyat dan permainan tradisional sebagai metode pembelajaran. Ini bukan hanya menguatkan identitas lokal, tetapi juga menanamkan nilai-nilai moral sejak dini. Penelitian oleh Astuti (2020) menunjukkan bahwa metode ini meningkatkan daya serap anak terhadap materi ajar.
Faktor ekonomi juga menjadi alasan penting. PAUD di desa cenderung lebih terjangkau dibandingkan kota. Bahkan, beberapa desa memanfaatkan Dana Desa guna mendanai operasional PAUD. Hal ini sesuai dengan amanat Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 11 Tahun 2019 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa.
Keterjangkauan ini tidak hanya soal biaya, tetapi juga jarak. Anak-anak di desa tidak perlu menempuh perjalanan jauh untuk mendapatkan pendidikan. Dekatnya jarak PAUD dengan rumah memungkinkan anak-anak belajar dengan nyaman. Hal ini sejalan dengan prinsip pendidikan inklusif yang dicanangkan oleh UNESCO.
Namun, tantangan tetap ada. Salah satunya adalah kualitas guru. Banyak guru PAUD di desa belum memiliki sertifikasi formal. Menurut data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (2022), hanya 60 persen guru PAUD yang memiliki kualifikasi S1. Ini menjadi pekerjaan rumah besar.
Solusinya? Pelatihan berkelanjutan. Program seperti Guru Penggerak dan pendampingan dari perguruan tinggi bisa menjadi jalan keluar. Di beberapa desa, pendekatan ini sudah dilakukan dengan hasil yang menjanjikan. Guru yang terlatih mampu menghadirkan pembelajaran yang lebih kreatif dan relevan.