Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Konsultan - Penikmat Kopi

Saat ini mengabdi pada desa. Kopi satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya...

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Slow Living ala Pendamping Desa, Menemu Makna di Tengah Pendampingan

22 Desember 2024   13:30 Diperbarui: 25 Desember 2024   17:52 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjadi pendamping desa adalah profesi yang penuh dinamika. Kami tidak hanya berhadapan dengan tugas administratif yang melelahkan, tetapi juga tantangan sosial yang kompleks. Ada program yang harus dieksekusi, data yang harus diperbarui, hingga konflik yang harus dimediasi. Semua itu membutuhkan tenaga, waktu, dan pikiran.

Dalam tekanan seperti ini, konsep slow living justru memberikan sudut pandang yang menarik sekaligus berbeda, bagaimana hidup melambat dapat memberikan ruang keberlanjutan, kebahagiaan, dan kualitas pendampingan yang lebih baik?

Pendamping desa sering kali terjebak dalam ritme yang cepat. Target yang terus-menerus mengejar, laporan yang harus segera diselesaikan, dan agenda-agenda mendadak dari tingkat kabupaten hingga pusat membuat hidup terasa seperti berlari tanpa henti.

Pengalaman ini justru menjadi pengingat bahwa hidup tidak seharusnya sekadar tentang produktivitas. Ada makna yang lebih mendalam yang harus ditemukan di sela-sela kesibukan itu.

Slow living bagi pendamping desa bukan berarti mengurangi kinerja atau melambatkan pendampingan. Sebaliknya, ini adalah upaya menjalani pekerjaan secara lebih dan dengan penuh kesadaran.

Filosofi ini dimulai dari hal-hal kecil, seperti mengatur prioritas kerja, menciptakan waktu untuk refleksi, atau menikmati interaksi dengan masyarakat desa secara lebih mendalam. Dengan melambat, pendamping desa dapat menemukan momen berharga yang sering terlewatkan dalam hiruk-pikuk aktivitas.

Misalnya, dalam suatu kunjungan lapangan di salah satu desa untuk memperbarui data SDGs, meluangkan waktu untuk berbincang dengan ibu-ibu di posyandu. Di luar data yang dikumpulkan, terdengar cerita tentang bagaimana mereka bertahan hidup di tengah ekonomi yang terasa kian sulit. Di momen itu, selain menjadi pendamping yang menjalankan tugas teknis, juga seorang manusia yang harus mendengar dan memahami perjuangan mereka.

Di sisi lain, lingkungan desa sebenarnya sangat mendukung konsep slow living. Suara ayam berkokok di pagi hari, angin yang bertiup di tengah ladang, atau senyum hangat warga saat menyapa, semuanya mengingatkan kita untuk berhenti sejenak dan menikmati kehidupan. Dalam konteks ini, pendamping desa beruntung karena memiliki akses langsung ke suasana yang memungkinkan refleksi dan kedamaian.

Ini artinya menerapkan slow living tidak berarti mengabaikan realitas pekerjaan yang berat. Sebagai pendamping desa, kami harus menemukan keseimbangan antara memenuhi tanggung jawab dan menjaga kesehatan mental serta fisik. Ini dapat dilakukan dengan manajemen waktu yang lebih baik. Daripada mencoba menyelesaikan semua tugas sekaligus, memecah pekerjaan menjadi bagian-bagian kecil yang dapat diselesaikan secara bertahap adalah langkah bijak.

Selain itu, slow living juga mengajarkan kami menghargai proses, bukan hanya hasil. Ketika mendampingi desa yang akan mengikuti lomba desa wisata, belajar bahwa keberhasilan tidak hanya diukur dari piala yang diraih. Melihat warga bekerja sama, bergotong-royong membersihkan lingkungan, adalah momen yang jauh lebih berarti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun