Pagi itu gerimis turun perlahan, membasahi halaman kantor desa. Saya, seorang Pendamping Desa (PD), dan seorang Pendamping Lokal Desa (PLD) sudah sampai lebih dulu di aula untuk menunggu Musyawarah Desa Penetapan APBDes dimulai. Jadwal yang tertera pukul 09.00 WIB, tapi sudah jam 10.30 dan peserta baru beberapa orang saja yang hadir.
"Musdes kok ya hampir selalu molor, ya," kata PLD sambil menyeruput kopi hitamnya. "Padahal aku udah buru-buru berangkat sampai nggak sarapan, biar cepat mulai cepet selesai." Sambil matanya melirik ke bungkus keripik di tangan saya.
"Makanya bawa camilan sendiri," celetuk saya sambil terkekeh, membuka bungkus keripik singkong yang saya bawa.
Sementara itu, PD sibuk menggulung lengan kemejanya. "Ya sudah lah, kita nikmati aja. Siapa tahu dari sini kita bisa nemu inspirasi baru buat cerita pendampingan," katanya santai.
Obrolan ringan mulai mengalir. Kami berbagi cerita tentang desa-desa yang pernah kami dampingi. Dari kepala desa yang suka bercanda, warga yang selalu datang terlambat, hingga anak kecil yang selalu mengintip setiap kali kami mengadakan pelatihan.
Namun, karena waktu terasa berjalan lambat, PLD tiba-tiba mengusulkan sesuatu.
"Eh, daripada bosen, gimana kalau kita main tebak-tebakan?" katanya dengan mata berbinar.
"Boleh juga, biar nggak ngantuk," jawab PD sambil menggeser kursinya mendekat.
"Okay, aku mulai ya. Dengerin baik-baik," PLD memulai dengan suara penuh semangat. "Doa apa yang langsung dikabulkan?"
PD berpikir sejenak sambil mengerutkan kening. "Hmm... doa ibu, mungkin? Doa ibu kan paling mustajab."
PLD langsung menggeleng sambil senyum-senyum. "Salah! Coba tebak lagi."