Dalam obrolan sehari-hari, “jompo” sering diartikan sebagai kondisi fisik yang renta, tubuh yang lemah, dan tenaga yang sudah tidak prima. Tapi dalam konteks ini, “jompo” kita maknai lebih luas: bukan hanya soal badan yang letih, tetapi juga hati yang capek dan dompet yang keseleo.
Kalau kita bicara soal Pendamping Desa (tanpa singkatan) atau Tenaga Pendamping Profesional (TPP), pertanyaan “Apakah upahnya bikin jompo dini?” bukan lagi lelucon, tetapi realitas pahit yang mereka alami.
Sebagai informasi, wilayah kerja Pendamping Desa atau TPP terbagi berdasarkan tugas dan tanggung jawab. Pendamping Desa (dengan singkatan, PD), misalnya, bekerja di tingkat kecamatan, sementara Pendamping Lokal Desa (PLD) biasanya bertugas mendampingi 3 hingga 4 desa, tergantung kebutuhan wilayah masing-masing.
Mereka adalah garda terdepan dalam mendampingi desa untuk memastikan program pembangunan berjalan dengan baik, partisipatif, dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.
Namun, di balik tugas mulia ini, kenyataan yang mereka hadapi sering kali jauh dari kata ideal. Berdasarkan Peraturan Keputusan Menteri Desa Nomor 148 Tahun 2022, gaji TPP terdiri dari honorarium dan biaya operasional.
Untuk Pendamping Desa (PD), honorarium berkisar antara Rp2.052.000 hingga Rp4.861.000 per bulan, ditambah biaya operasional mulai dari Rp1.252.800 hingga Rp2.281.480. Kalau dijumlahkan, total pendapatan mereka bisa mencapai Rp3,3 juta hingga Rp7,1 juta.
Tapi tunggu dulu, ini belum dipotong pajak dan BPJS, atau (mungkin) kebutuhan urunan buat rakor, dan sesekali urunan bela sungkawa, ataupun kebutuhan mendesak di lapangan. Kalau sudah dikurangi semuanya, yang tersisa sering kali hanya cukup untuk kebutuhan dasar.
Bagaimana dengan Pendamping Lokal Desa (PLD)? Honorarium mereka mulai dari Rp1.382.000 hingga Rp2.393.000, ditambah biaya operasional yang berkisar antara Rp377.000 hingga Rp979.000.
Artinya, pendapatan mereka bahkan ada yang tidak mencapai Rp3 juta. Dengan tugas yang mencakup 3 hingga 4 desa, pendapatan ini jelas tidak mencerminkan beban kerja yang mereka emban.
Pendamping Desa sering digambarkan sebagai "jembatan" antara pemerintah pusat dan masyarakat desa. Tapi ironisnya, “jembatan” ini kerap harus menopang dirinya sendiri agar tidak runtuh.