Salah satu tantangan utama dalam implementasi SDGs Desa di Indonesia adalah pengumpulan dan penginputan data dasar. Di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) misalnya, dengan total penduduk sebanyak 4.737.850 jiwa, hanya 1.915.995 jiwa (40,27%) yang telah terdata. Sementara itu, dari 1.486.190 jumlah Kepala Keluarga (KK), baru 587.351 KK (39,41%) yang tercatat. (sid.kemendesa.go.id/profil)Â
Ketertinggalan dalam penginputan data ini sering kali dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah trauma yang dialami desa-desa akibat pengalaman buruk dalam proses sebelumnya.Â
Desa merasa telah mengeluarkan anggaran yang besar untuk pengumpulan data, tetapi hasilnya tidak sesuai dengan harapan, terutama ketika server sering mengalami kendala teknis atau bahkan ngadat.
Permasalahan ini tidak hanya menjadi hambatan dalam pelaksanaan SDGs Desa tetapi juga menghambat desa untuk mencapai tujuan pembangunan yang lebih terintegrasi dan berkelanjutan.Â
Data dasar merupakan pondasi penting dalam menyusun perencanaan pembangunan desa, termasuk untuk program-program strategis seperti pengentasan kemiskinan, peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan, hingga pemberdayaan ekonomi lokal.
Tanpa data yang valid dan terkini, sulit bagi desa membuat kebijakan yang tepat sasaran. Karenanya, perlu ada pendekatan baru yang tidak hanya menyelesaikan permasalahan teknis, tetapi juga membangun kembali kepercayaan desa terhadap sistem yang digunakan.
Salah satu pendekatan yang dapat diusulkan adalah menggagas sebuah kurikulum SDGs Desa yang berorientasi pada peningkatan kapasitas sumber daya manusia di tingkat desa.Â
Secara umum, kurikulum dapat didefinisikan sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, bahan pelajaran, serta cara yang digunakan untuk menyelenggarakan kegiatan pembelajaran.
Dalam konteks SDGs Desa, kurikulum ini selain berfungsi sebagai alat pendidikan formal, juga sebagai panduan praktis bagi pemerintah desa, pendamping desa, serta masyarakat dalam mengintegrasikan SDGs ke dalam kehidupan sehari-hari.
Kurikulum SDGs Desa harus dirancang untuk memberikan pemahaman mendalam mengenai pentingnya data dasar sebagai fondasi pembangunan.Â
Materi dalam kurikulum ini dapat mencakup pelatihan teknis mengenai pengumpulan, validasi, dan penginputan data, serta pengelolaan data yang berkelanjutan.
Kurikulum juga harus menyentuh aspek strategis, seperti cara memanfaatkan data untuk menyusun rencana pembangunan desa, mengevaluasi program yang telah berjalan, dan membuat keputusan berbasis bukti.Â
Dengan demikian, kurikulum ini tidak hanya mengatasi persoalan teknis, tetapi juga meningkatkan literasi data dan kesadaran masyarakat desa akan pentingnya informasi dalam pembangunan.
Pengembangan kurikulum SDGs Desa ini tidak dapat dilakukan secara top-down. Partisipasi aktif dari pemerintah desa, pendamping desa, serta masyarakat setempat sangat penting guna memastikan bahwa kurikulum yang dirancang sesuai dengan kebutuhan lokal.
Misalnya, desa-desa di NTB mungkin menghadapi tantangan yang berbeda dibandingkan dengan desa di wilayah lain, sehingga kurikulum harus dirancang secara fleksibel untuk mengakomodasi konteks lokal. Proses ini juga harus melibatkan evaluasi terus-menerus untuk memastikan kurikulum tetap relevan dan efektif.
Kurikulum ini juga dapat dirancang untuk mengatasi trauma yang dialami desa akibat kegagalan sistem sebelumnya. Salah satu caranya adalah dengan memasukkan modul-modul yang berfokus pada pengelolaan risiko, solusi alternatif ketika server mengalami kendala, dan pemahaman mengenai pentingnya kolaborasi antara berbagai pihak.Â
Dengan membangun kapasitas dan kepercayaan diri aparat desa, diharapkan mereka dapat lebih siap menghadapi tantangan teknis maupun non-teknis dalam pengelolaan data dasar.
Manfaat dari kurikulum SDGs Desa ini tidak hanya dirasakan oleh pemerintah desa, tetapi juga oleh masyarakat secara umum. Dengan memiliki data yang valid dan terkini, desa dapat menyusun program-program yang lebih tepat sasaran, seperti pengentasan kemiskinan, peningkatan akses pendidikan, atau pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.
Kurikulum ini juga dapat menjadi alat untuk memperkuat gotong royong dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa. Misalnya, melalui pelatihan yang melibatkan berbagai kelompok masyarakat, seperti pemuda, perempuan, dan tokoh adat, sehingga mereka juga memiliki peran aktif dalam mencapai tujuan SDGs Desa.
Keberhasilan dari kurikulum SDGs Desa ini tentunya membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan lembaga donor. Salah satu bentuk dukungan yang dapat diberikan adalah penyediaan sumber daya, baik dalam bentuk finansial, teknologi, maupun pendampingan.
Diperlukan pula sistem insentif yang mendorong desa-desa untuk terus memperbarui dan memanfaatkan data dasar mereka. Misalnya, desa-desa yang berhasil menyelesaikan penginputan data secara lengkap dan akurat dapat diberikan prioritas dalam program-program pembangunan tertentu.
Dengan menggagas kurikulum SDGs Desa, kita tidak hanya berupaya menyelesaikan persoalan teknis dalam penginputan data dasar, tetapi juga membangun pondasi yang lebih kokoh untuk mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan. Kurikulum ini menjadi jembatan antara perencanaan strategis di tingkat pusat dengan implementasi di tingkat lokal.
Lebih dari itu, kurikulum ini juga menjadi alat untuk memberdayakan desa sebagai aktor utama dalam pembangunan, bukan sekadar objek kebijakan dari atas. Dengan pendekatan yang inklusif dan berorientasi pada solusi, diharapkan SDGs Desa dapat benar-benar menjadi motor penggerak bagi perubahan yang lebih baik, khususnya di NTB dan di seluruh Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI