Budaya beriuk tinjal, yang berarti bekerja secara gotong royong dengan prinsip berat sama dipikul ringan sama dijinjing, merupakan tindih (inti) dari kehidupan sosial masyarakat Sasak di Lombok. Tradisi ini tidak hanya menjadi warisan leluhur yang penuh makna, tetapi juga mencerminkan semangat kolektivitas dan solidaritas yang kuat.
Dalam konteks pembangunan desa, budaya ini berpeluang besar mendukung Program Padat Karya Tunai Desa (PKTD), yang bertujuan menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat desa dengan melibatkan tenaga kerja lokal dan memberikan upah secara tunai.
Integrasi antara budaya beriuk tinjal dan PKTD memerlukan pendekatan yang hati-hati agar keduanya dapat berjalan selaras tanpa mengurangi nilai-nilai dasar atau entitas dari keduanya.
PKTD, sebagai bagian dari strategi pembangunan desa, mengutamakan partisipasi masyarakat setempat dalam kegiatan seperti pembangunan infrastruktur, perbaikan jalan, atau pembersihan dan penataan lingkungan.
Program ini bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui dua cara, yaitu menyediakan pekerjaan bagi warga desa yang membutuhkan, sekaligus menciptakan desa yang lebih bersih dan sehat.
Di sisi lain, beriuk tinjal sebagai tradisi gotong royong menjadi modal sosial yang sangat berharga dalam pelaksanaan program ini. Nilai kebersamaan dan semangat saling membantu dalam budaya beriuk tinjal dapat memperkuat pelibatan masyarakat secara aktif dalam setiap tahap program.
Namun demikian, upaya menyelaraskan budaya beriuk tinjal dengan PKTD memiliki tantangan. Salah satu masalah utamanya adalah perubahan orientasi masyarakat terhadap kerja gotong royong akibat modernisasi dan individualisme yang semakin kuat.
Dalam konteks beriuk tinjal, kegiatan dilakukan secara sukarela tanpa mengharapkan imbalan langsung. Sebaliknya, PKTD menawarkan upah tunai yang dapat mengubah persepsi masyarakat terhadap kerja kolektif.
Ada kekhawatiran bahwa semangat gotong royong akan tereduksi menjadi sekadar hubungan kerja transaksional, yang berpotensi melemahkan nilai-nilai luhur budaya beriuk tinjal.
Selain itu, keberhasilan PKTD sangat bergantung pada mekanisme pelaksanaan yang tepat. Salah satu risiko yang sering muncul adalah ketimpangan dalam distribusi pekerjaan atau kurangnya partisipasi kelompok tertentu, seperti perempuan dan kelompok rentan.
Padahal, beriuk tinjal sejatinya mencerminkan inklusivitas, di mana semua elemen masyarakat berperan sesuai kemampuan masing-masing. Ketidaksesuaian ini dapat menciptakan gesekan sosial yang merugikan keberlanjutan program.
Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan langkah-langkah strategis agar budaya beriuk tinjal dapat berkontribusi secara optimal dalam pelaksanaan PKTD. Pertama, pemerintah desa perlu memadukan prinsip-prinsip beriuk tinjal dengan tujuan PKTD secara bijak.
Misalnya, meskipun pekerjaan dalam program ini diberikan upah, semangat gotong royong tetap bisa terimplementasi melalui penguatan rasa memiliki terhadap hasil pembangunan. Hal ini dapat dilakukan dengan melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan hingga evaluasi program.
Kedua, tokoh seperti tuan guru dan pemangku kepentingan di desa berperan sebagai penjaga nilai-nilai budaya beriuk tinjal. Mereka memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara nilai tradisional dan kebutuhan modern.
Dengan peran aktif para pemimpin lokal, masyarakat akan lebih mudah memahami bahwa PKTD selain merupakan proyek pembangunan, juga sarana memperkuat kebersamaan dalam bingkai tradisi.
Ketiga, mekanisme insentif dalam PKTD dirancang guna mendukung semangat beriuk tinjal. Selain upah tunai, desa juga memberikan penghargaan simbolis seperti pengakuan komunitas atau insentif berbasis hasil kerja kolektif.
Dengan cara ini, masyarakat tetap merasa bahwa kerja mereka bukan hanya tentang uang, tetapi juga tentang kontribusi sosial yang lebih besar.
Program PKTD pada dasarnya bentuk modernisasi dari semangat gotong royong yang sudah ada dalam budaya beriuk tinjal. Keberhasilannya tidak hanya ditentukan oleh jumlah proyek yang diselesaikan, tetapi juga oleh kemampuan program ini dalam memperkuat solidaritas sosial.
Melalui pendekatan yang tepat, budaya beriuk tinjal dapat menjadi kekuatan utama yang mendukung tercapainya tujuan PKTD, yakni menciptakan desa yang bersih, sehat, dan mandiri.
Pada akhirnya, keberlanjutan program ini bergantung pada komitmen bersama menjaga harmoni antara nilai tradisional dan tuntutan pembangunan modern. Budaya beriuk tinjal selain bagian dari sejarah, juga fondasi masa depan yang harus terus dirawat.
Dengan menyelaraskan tradisi dan program, desa dapat mencapai pembangunan yang bersifat fisik, sekaligus memperkuat ikatan sosial yang menjadi ruh masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H