Tantangan terbesar dalam mengatasi pengaruh pola pikir ini adalah mengubah cara pandang masyarakat tentang prioritas pembangunan. Perlu pendekatan yang bijak untuk menjelaskan bahwa keadilan tidak selalu berarti kesetaraan dalam bentuk pembagian rata.
Keadilan dalam hal ini harus dimaknai sebagai pemberian sesuai kebutuhan dan potensi dampak. Ini membutuhkan edukasi yang konsisten melalui musyawarah desa yang partisipatif dan transparan.
Selain itu, kapasitas kepala desa dan perangkatnya dalam memahami prinsip tata kelola keuangan yang baik juga perlu ditingkatkan. Kebiasaan berbagi rata sering kali muncul karena kurangnya pemahaman tentang prinsip akuntabilitas dan efektivitas.
Pendamping desa harus berperan aktif dalam memberikan pelatihan tentang prioritas pembangunan, evaluasi kebutuhan, dan perencanaan berbasis data.
Namun, mengubah pola pikir yang telah mengakar selama puluhan tahun tentu bukan hal yang mudah. Tradisi “berkat begawe” adalah bagian dari identitas budaya Sasak yang telah terbentuk melalui generasi.
Mengubahnya bukan berarti menghapus tradisi, melainkan mentransformasikannya agar sesuai dengan kebutuhan pembangunan modern. Tradisi ini tetap bisa dipertahankan dalam konteks sosial, tetapi perlu dipisahkan dari pengelolaan dana publik yang memerlukan pendekatan berbasis hasil.
Langkah-langkah kecil dapat dimulai dengan mengintegrasikan tradisi ini ke dalam program desa yang lebih terstruktur. Misalnya, gotong royong tradisional diformalkan dalam program Padat Karya Tunai Desa (PKTD), yang tidak hanya melibatkan banyak pihak tetapi juga menghasilkan output pembangunan yang jelas.
Dengan cara ini, semangat “berkat begawe” tetap hidup, tetapi dalam bentuk yang lebih produktif dan terukur, sehingga masyarakat merasakan manfaat langsung dari kontribusi mereka dalam proyek pembangunan yang konkret. Pendekatan ini memungkinkan pembangunan yang lebih merata sekaligus meningkatkan efektivitas penggunaan dana desa.
Ke depan, pengelolaan dana desa di Lombok perlu mengadopsi pendekatan yang lebih visioner. Prioritas pembangunan harus diarahkan pada sektor-sektor strategis yang membawa perubahan besar, seperti pendidikan, kesehatan, dan pengentasan kemiskinan.
Tradisi lokal seperti “berkat begawe” dapat menjadi kekuatan pendukung, tetapi bukan penghalang bagi tercapainya tujuan pembangunan yang lebih luas.
Transformasi ini membutuhkan kolaborasi antara pemerintah, pendamping desa, dan masyarakat itu sendiri. Edukasi, dialog, dan pemberdayaan menjadi kunci menciptakan keseimbangan antara tradisi lokal dan tuntutan pembangunan modern.