“Semoga Korkabku—Agus Solihin, segera pulih dari sakitnya, dan dapat beraktifitas kembali sebagaimana biasanya. Aamin...”
Mungkin banyak yang beranggapan bahwa menjadi Koordinator Kabupaten (Korkab) itu menyenangkan. Selain prestise, mereka dianggap berpenghasilan di atas Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat (TAPM) yang lain, bahkan memiliki kendaraan dinas lengkap dengan sopir pribadi. Mungkin hal ini berlaku untuk program lain.
Nyatanya, menjadi Korkab pada Program P3MD (Program Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa) jauh panggang dari api. Di balik tanggung jawab besar yang melekat pada jabatan ini, ada berbagai kendala dan kekurangan yang harus dihadapi, membuat peran ini tidak sesederhana yang terlihat dari luar.
Tugas Korkab seperti yang diatur dalam Standar Operasional Prosedur (SOP) Pendampingan Masyarakat Desa yang disusun oleh Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kementerian Desa dan didasarkan pada Peraturan Menteri Desa Nomor 19 Tahun 2020, memuat tanggung jawab yang sangat kompleks.
Korkab harus mengoordinasikan seluruh kegiatan Tenaga Pendamping Profesional (TPP) di tingkat kabupaten, mensupervisi kinerja mereka, menyusun laporan perkembangan program, memfasilitasi teknis pelaksanaan kegiatan di desa, hingga menyelesaikan konflik yang mungkin muncul di lapangan.
Semua tugas tersebut membutuhkan dukungan yang memadai, baik secara teknis maupun operasional. Namun, kenyataannya, dukungan tersebut sering kali tidak tersedia, menciptakan tantangan besar bagi para Korkab.
Salah satu kekurangan utama yang paling dirasakan oleh Korkab adalah tidak adanya dana operasional yang melekat langsung pada jabatan ini. Berbeda dengan jabatan strategis lainnya yang biasanya memiliki alokasi dana untuk mendukung mobilitas dan aktivitas kerja, Korkab sering kali harus menggunakan dana pribadi untuk menjalankan tugas mereka.
Hal ini diperparah dengan tidak adanya kendaraan dinas yang secara khusus disediakan untuk Korkab. Padahal, salah satu tugas utama Korkab adalah melakukan kunjungan lapangan ke desa-desa di wilayah kabupaten, yang sering kali berlokasi di daerah terpencil dengan akses yang sulit.
Ketika dana operasional dan kendaraan tidak tersedia, efektivitas pelaksanaan tugas ini tentu menjadi sangat terbatas. Dalam banyak kasus, Korkab harus menggunakan kendaraan pribadi, yang tidak hanya menambah beban biaya tetapi juga berisiko pada keselamatan mereka, terutama jika medan yang dilalui cukup berbahaya.
Selain itu, pendapatan yang diterima oleh Korkab ternyata sama dengan Tenaga Ahli lainnya, meskipun tanggung jawab yang mereka emban jauh lebih besar. Kondisi ini sering kali menjadi sumber keluhan, karena dianggap tidak sebanding dengan beban kerja yang harus mereka pikul.
Bahkan, tidak sedikit Korkab yang merasa bahwa penghargaan terhadap peran strategis mereka kurang diapresiasi oleh sistem yang ada. Dalam banyak kasus, hal ini memengaruhi motivasi kerja dan tingkat kepuasan mereka terhadap pekerjaan.
Kekurangan lainnya adalah beban kerja yang sangat tinggi. Sebagai pemimpin tim TPP, Korkab harus memastikan seluruh anggota tim dapat menjalankan tugas mereka dengan baik. Namun, dengan jumlah desa yang sangat banyak di beberapa kabupaten, koordinasi dan supervisi menjadi tantangan besar.
Banyak Korkab yang harus bekerja jauh melampaui jam kerja normal hanya untuk memastikan semua laporan selesai tepat waktu, masalah di lapangan teratasi, dan program-program yang telah direncanakan berjalan sesuai target. Kondisi ini, selain berdampak negatif pada kesehatan fisik dan mental mereka, juga berdampak pada kinerja.
Beban yang berat membuat banyak TAPM enggan menjadi koordinator, dan meskipun sudah menjabat, banyak yang hanya memenuhi kewajiban kunjungan lapangan tanpa turun langsung ke lapangan, melakukan supervisi mendalam, atau menyusun laporan orisinal. Hal ini berdampak pada rendahnya kualitas pendampingan yang seharusnya ditingkatkan.
Belum lagi problem—bahkan sering kali—ketidakselarasan antara kebijakan di tingkat pusat dengan kondisi lapangan. Korkab dihadapkan pada dilema ketika kebijakan yang dirancang oleh Kementerian Desa tidak sepenuhnya cocok dengan kementerian lain, sehingga berdampak sampai ke tingkat kebutuhan maupun realitas di wilayah mereka.
Selain itu, hubungan dengan pemerintah daerah juga kadang menjadi tantangan, terutama jika ada perbedaan pandangan terkait regulasi dan prioritas program pembangunan desa. Dalam situasi seperti ini, Korkab harus memiliki kemampuan diplomasi yang kuat untuk menjaga hubungan baik sekaligus memastikan tujuan program tetap tercapai.
Namun, di balik berbagai kekurangan tersebut, menjadi Korkab juga memiliki beberapa kelebihan yang tidak bisa diabaikan. Salah satu kelebihan utamanya adalah prestise atau pengakuan sosial yang melekat pada jabatan ini. Sebagai pemimpin TPP di tingkat kabupaten, Korkab menjadi figur sentral yang dianggap sebagai penggerak utama program pembangunan desa.
Posisi ini memberikan kesempatan besar berkontribusi langsung dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat desa—dalam bahasa agama, kesempatan beramal jariyah-nya lebih luas dibanding yang lain. Tidak sedikit Korkab yang merasa bangga karena dapat menjadi bagian dari perubahan positif yang terjadi di desa-desa di wilayah mereka.
Selain prestise, jabatan ini juga memberikan peluang besar untuk mengembangkan kemampuan manajerial dan kepemimpinan. Mengelola tim yang terdiri dari TAPM, Pendamping Desa (PD), dan Pendamping Lokal Desa (PLD) membutuhkan keterampilan komunikasi, koordinasi, dan pengambilan keputusan yang baik.
Dalam proses ini, Korkab dapat memperluas jaringan mereka dengan berbagai pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah daerah hingga organisasi masyarakat sipil. Pengalaman ini tentu menjadi modal berharga bagi karier mereka di masa depan.
Lebih dari itu, menjadi Korkab juga memberikan kepuasan tersendiri karena dapat melihat langsung dampak dari program yang dijalankan. Ketika desa-desa yang sebelumnya tertinggal mulai menunjukkan kemajuan, dan ketika masyarakat desa dapat menikmati hasil dari program-program yang difasilitasi, rasa bangga dan kepuasan tersebut menjadi nilai tambah yang tidak bisa diukur dengan materi.
Banyak Korkab yang menyatakan bahwa motivasi utama mereka adalah keinginan tulus berkontribusi pada pembangunan desa dan membantu masyarakat keluar dari jerat kemiskinan. Mereka melihat peran ini sebagai jalan mencipta perubahan nyata di akar rumput, meski harus menghadapi berbagai tantangan besar di lapangan.
Untuk memaksimalkan peran Korkab, diperlukan dukungan yang lebih baik dari pemerintah, terutama Kementerian Desa. Salah satu langkah yang paling mendesak adalah menyediakan dana operasional dan kendaraan dinas yang melekat langsung pada jabatan ini.
Selain itu, perlu ada pelatihan teknis yang berkelanjutan untuk meningkatkan kapasitas Korkab dalam menghadapi berbagai tantangan di lapangan. Kebijakan yang lebih fleksibel dan responsif terhadap kebutuhan lapangan juga menjadi hal yang sangat penting.
Pada akhirnya, menjadi Korkab adalah tentang menemu keseimbangan antara kelebihan dan kekurangan yang melekat pada jabatan ini. Di satu sisi, posisi ini memberikan peluang besar untuk berkontribusi pada pembangunan desa dan mengembangkan karier. Namun, di sisi lain, tantangan yang dihadapi tidaklah kecil, mulai dari keterbatasan dana operasional hingga beban kerja yang tinggi.
Dengan dukungan yang memadai dari pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya, peran Korkab dapat menjadi lebih efektif dan bermakna dalam mendorong perubahan positif di desa-desa seluruh Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H