Kami memanggilnya Mas Jon, pemilik kantin asrama yang dengan keikhlasannya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mahasiswa PTIQ Jakarta.
Dalam banyak hal, ia bukan sekadar penjual makanan, melainkan figur yang akrab, rendah hati, dan penuh pengertian terhadap kondisi penghuni asrama.
Nama panggilan itu, konon, diberikan oleh seorang mahasiswa Betawi bernama Ruli, entah karena kesederhanaan atau kehangatan pribadinya, atau nama itu kepanjangan.
Nama aslinya, Sarwo Edi Wibowo—mohon koreksi jika salah—mungkin tidak banyak diingat, tetapi sebutan Mas Jon sudah menjadi legenda yang hidup di antara generasi alumni PTIQ.
Kami memanggilnya Mas Jon, sosok yang sudah membuka kantin sejak tahun 1995, ketika asrama PTIQ masih terdiri dari delapan bangunan sederhana sebelum berganti rupa menjadi rusunawa.
Di masa itu, mahasiswa program tahfidz penuh yang hidupnya sederhana sering kali menggantungkan nasib pada kemurahan hati pemilik kantin kecil ini.
“Ngutang” atau “nyatet” sudah menjadi istilah yang akrab di antara penghuni asrama, semacam tradisi tak tertulis yang dipelihara oleh rasa saling percaya antara Mas Jon dan para mahasiswa.
Bahkan ada yang menulis di buletin kampus, kantin Mas Jon adalah “Kantin Para Proletariat.” Julukan itu tepat, sebab kantin ini menjadi tempat berteduh bagi mereka yang dompetnya sering kosong.
Kami memanggilnya Mas Jon, yang tidak hanya menjual makanan tetapi juga menyediakan solusi. Saat penghuni asrama tidak memiliki uang, ia dengan mudahnya berkata, “Nanti aja...”
Catatan utang di buku kecilnya menjadi pengingat betapa seringnya ia menanggung beban keuangan mahasiswa tanpa keluhan. Tidak jarang, ketika reuni atau kegiatan lain, alumni mengingat masa lalu dengan canda, “Catatanmu masih ada tuh di buku Mas Jon” atau “Sudah bayar utang belum?”