Kalimat-kalimat itu selalu disambut gelak tawa, tetapi sekaligus penuh rasa syukur dan hormat kepada Mas Jon yang jasanya begitu besar.
Kami memanggilnya Mas Jon, dan kantinnya menjadi lebih dari sekadar tempat makan. Itu adalah ruang pertemuan, tempat berbagi cerita, diskusi panjang, atau sekadar mencari ketenangan di sela-sela kesibukan menghafal Al-Qur’an.Â
Asrama PTIQ saat itu memiliki dinamika kehidupan yang khas. Bangunan-bangunannya, meskipun sederhana, penuh cerita. Bangunan depan dengan dua lantai, lantai bawah sebagai tempat usaha dan sekretariat BEM, lantai atas tempat berkumpulnya komisariat beberapa organisasi ekstra kampus.Â
Masjid Asrama Darul Quran, tempat beribadah sekaligus pusat kegiatan rohani, menjadi saksi banyak kenangan tak terlupakan. Di antara bangunan itu, kantin Mas Jon berdiri sebagai oase bagi mahasiswa yang hidup dalam kesederhanaan.
Kami memanggilnya Mas Jon, yang menjadi bagian dari keseharian kami di asrama. Asrama dua, dengan kondisi bangunan yang apa adanya dan kamar mandi yang terbatas, sering membuat penghuninya berbagi fasilitas dengan asrama lain.Â
Di asrama tiga, suasananya lebih nyaman dengan banyak kamar mandi dan halaman yang luas. Di bawah pohon mangga besar yang teduh, di situ mahasiswa sering muraja’ah, bermain gitar, atau sekadar menikmati gorengan Mbak Yu.Â
Di tengah kesederhanaan itu, kantin Mas Jon menjadi pusat gravitasi, tempat kami merasa diterima walaupun hanya datang, untuk ngutang makan tanpa syarat.
Kami memanggilnya Mas Jon, dan kami tidak pernah melupakan kemurahan hatinya. Salah satu momen yang paling membekas adalah ketika hari pertama sahur di bulan Ramadan.Â
Di hari itu, Mas Jon akan memberikan makanan gratis kepada semua mahasiswa, dengan lauk ayam. Mungkin bagi sebagian orang, itu adalah hal kecil, tetapi bagi kami, itu adalah berkah besar.Â
Di tengah kesulitan hidup, kebaikan Mas Jon memberikan kehangatan yang tak ternilai. Ia tidak pernah mengungkit utang kami, apalagi menagih dengan nada tinggi. Baginya, membantu menjadi bagian dari falsafah hidupnya.
Kami memanggilnya Mas Jon, yang menjadi saksi perjalanan dari banyak mahasiswa sederhana dan "nekat" bermodal hafalan Quran kuliah di kota besar, menjadi pribadi yang lebih dewasa.Â