Dengan memanen timun, LAZADHA seolah ingin menyampaikan pesan bahwa sektor ini tidak akan lagi menjadi prioritas sekunder, melainkan akan ditempatkan sebagai fondasi utama pembangunan jika mereka diberi mandat.
Pada hari-hari terakhir menjelang pemilihan kepala daerah, pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Lombok Barat nomor urut 4, Lalu Ahmad Zaini dan Nurul Adha (LAZADHA), mengambil langkah sederhana tetapi bermakna "memanen timun."
Dalam dinamika politik yang sering dihiasi dengan pelbagai bentuk pencitraan megah, keputusan untuk turun langsung ke ladang ini menunjukkan pendekatan yang lebih mendasar dan personal.
Di balik kesederhanaannya, langkah ini menyimpan makna strategis yang berpotensi besar menggaet simpati masyarakat agraris di Lombok Barat, sekaligus menjadi refleksi tentang masa depan kepemimpinan berbasis akar rumput.
Lombok Barat dikenal sebagai daerah yang sebagian besar penduduknya menggantungkan hidup dari sektor pertanian. Dengan populasi petani yang signifikan, kebijakan yang menyentuh langsung kebutuhan mereka menjadi isu sentral dalam setiap kontestasi politik.
Kehidupan petani di daerah ini mencerminkan perjuangan sehari-hari melawan pelbagai tantangan, mulai dari keterbatasan akses teknologi hingga harga hasil tani yang sering tidak sebanding dengan kerja keras mereka.
Dalam konteks ini, langkah LAZADHA untuk memanen timun tidak hanya menjadi aksi simbolis, tetapi juga bentuk pengakuan atas pentingnya kontribusi petani terhadap ekonomi daerah.
Memilih ladang sebagai tempat berinteraksi dengan masyarakat bukanlah kebetulan. Sektor pertanian adalah salah satu tulang punggung Lombok Barat. Sayangnya, sektor ini kerap diabaikan dalam pembangunan.
Infrastruktur pendukung seperti irigasi yang memadai, akses mudah terhadap pupuk, hingga kebijakan pasar yang berpihak masih menjadi persoalan besar.
Dengan memanen timun, LAZADHA seolah ingin menyampaikan pesan bahwa sektor ini tidak akan lagi menjadi prioritas sekunder, melainkan akan ditempatkan sebagai fondasi utama pembangunan jika mereka diberi mandat.
Langkah ini juga menegaskan pentingnya komunikasi politik yang sederhana namun efektif. Dalam suasana politik yang sering kali mengalienasi masyarakat dengan retorika tinggi, aksi langsung di ladang menjadi cara untuk menjembatani jurang antara pemimpin dan rakyat.
Aktivitas ini tidak hanya memperlihatkan kepekaan terhadap kebutuhan petani, tetapi juga menciptakan ruang dialog yang organik, tanpa sekat formalitas. Petani, sebagai salah satu kelompok pemilih terbesar, merasa diakui keberadaannya.
Ini bukan sekadar soal memenangkan hati mereka, tetapi tentang menunjukkan kepemimpinan yang mau mendengar, melihat, dan merasakan langsung apa yang dirasakan oleh rakyat.
Namun, di balik semua itu, pertanyaan besar yang patut diajukan adalah sejauh mana langkah ini akan menjadi cerminan dari komitmen yang berkelanjutan. Politik Indonesia memiliki sejarah panjang tentang janji-janji yang terucap selama masa kampanye tetapi menguap setelah pemimpin terpilih.
Bagi petani, janji-janji manis sudah terlalu sering mereka dengar. Yang mereka butuhkan adalah kebijakan nyata yang menyelesaikan masalah, bukan sekadar janji atau aksi simbolis.
Karenanya, jika LAZADHA ingin menjadikan momen ini lebih dari sekadar kampanye, mereka perlu memastikan bahwa kebijakan yang konkret akan menyusul langkah simbolis ini.
Salah satu isu krusial yang membutuhkan perhatian adalah fluktuasi harga hasil tani. Timun, seperti banyak komoditas lainnya, sering kali tidak memiliki harga yang stabil. Ketika panen melimpah, harga cenderung jatuh, membuat petani merugi.
Di sisi lain, saat harga tinggi, petani justru kesulitan memenuhi permintaan karena kurangnya dukungan dari sisi produksi. Untuk itu, diperlukan kebijakan yang memastikan stabilitas harga melalui mekanisme pasar yang lebih adil.
Pemerintah daerah dapat memfasilitasi akses pasar yang lebih luas, baik melalui koperasi petani, kolaborasi dengan sektor swasta, maupun pengembangan platform digital untuk menghubungkan petani langsung dengan konsumen secara lebih efisien.
Selain itu, keberlanjutan sektor pertanian juga harus menjadi perhatian utama. Dalam era perubahan iklim seperti sekarang, ketahanan petani terhadap kondisi cuaca yang tidak menentu sangat penting.
Teknologi pertanian modern, seperti sistem irigasi pintar dan pemantauan cuaca berbasis data, dapat menjadi solusi. Namun, implementasinya membutuhkan dukungan penuh dari pemerintah daerah, termasuk subsidi bagi petani kecil yang kesulitan mengakses teknologi tersebut.
Tidak kalah penting adalah upaya untuk memberdayakan generasi muda dalam sektor pertanian. Di Lombok Barat, seperti di banyak daerah lainnya, sektor ini semakin kehilangan daya tarik bagi anak muda.
Banyak dari mereka lebih memilih bekerja di sektor lain yang dianggap lebih menjanjikan. Jika tren ini terus berlanjut, sektor pertanian akan menghadapi krisis regenerasi yang serius. Pemerintah perlu menciptakan program-program yang menarik bagi generasi muda, seperti pelatihan pertanian berbasis teknologi atau insentif bagi mereka yang ingin mengelola lahan pertanian keluarga.
Refleksi dari langkah LAZADHA memanen timun juga menyadarkan kita tentang pentingnya pendekatan berbasis akar rumput dalam memimpin. Politik sering kali terjebak dalam strategi yang berorientasi pada elitisme, dengan asumsi bahwa pembangunan yang sukses harus dimulai dari atas.
Pengalaman menunjukkan bahwa keberhasilan daerah justru sering kali ditentukan oleh seberapa baik pemimpinnya memahami kebutuhan di tingkat bawah. Langkah LAZADHA terlibat langsung dalam kehidupan petani menjadi simbol kepemimpinan yang membumi.
Ada risiko bahwa langkah ini dianggap sebagai sekadar strategi kampanye tanpa komitmen jangka panjang. Ini adalah ujian terbesar bagi LAZADHA jika mereka berhasil terpilih. Mereka harus membuktikan bahwa tindakan mereka bukan sekadar aksi simbolis untuk meraih simpati, tetapi awal dari perjalanan panjang untuk memprioritaskan sektor pertanian.
Pemilih juga memiliki peran penting dalam memastikan bahwa isu-isu yang diangkat selama masa kampanye tidak berhenti setelah pemilu selesai. Masyarakat harus terus mengawal janji-janji yang telah disampaikan, termasuk komitmen terhadap sektor pertanian. Dengan partisipasi aktif dari masyarakat, pemerintah daerah akan memiliki tekanan yang cukup untuk benar-benar menindaklanjuti janji mereka.
Dalam konteks ini, memanen timun bukan sekadar kegiatan fisik, tetapi sebuah metafora tentang harapan yang ingin dituai oleh LAZADHA. Harapan bahwa sektor pertanian akan mendapatkan perhatian yang lebih besar. Harapan bahwa para petani tidak lagi dipandang sebelah mata. Harapan bahwa kepemimpinan yang mereka tawarkan benar-benar akan membawa perubahan yang nyata.
Langkah LAZADHA ini memberikan pesan kuat bahwa politik tidak harus selalu dilakukan di gedung-gedung mewah atau melalui pertemuan formal. Kadang, politik yang paling efektif adalah politik yang berjalan di atas tanah sawah, di bawah terik matahari, dan di tengah denyut kehidupan rakyat. Ini adalah politik yang tidak hanya berbicara tentang perubahan, tetapi juga memulai perubahan itu sendiri.
Pada akhirnya, keberhasilan langkah ini tidak akan ditentukan oleh berapa banyak suara yang diraih, tetapi oleh seberapa besar dampaknya terhadap kehidupan petani di Lombok Barat.
 Jika LAZADHA benar-benar mampu memanen harapan yang mereka tanam, maka langkah sederhana ini akan dikenang sebagai titik awal dari babak baru dalam pembangunan daerah. Tetapi jika tidak, aksi memanen timun hanya akan menjadi kenangan manis yang perlahan memudar, seperti panen yang berlalu tanpa hasil yang memuaskan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H