Milad ke-39 Pondok Pesantren Al-Aziziyah berlangsung dengan penuh kemeriahan, menampilkan serangkaian kegiatan inovatif seperti pawai alegoris, khataman Al-Qur'an seribu kali, pengobatan gratis, hingga santunan bagi anak yatim dan dhuafa. Â
Perayaan ini mencerminkan semangat kebersamaan yang kuat antara santri, alumni, dan masyarakat dalam merayakan hampir empat dekade kontribusi pesantren dalam mencetak generasi quran. Kemeriahan dan kemegahan acara ini layak mendapat apresiasi yang tinggi. Namun, di balik segala keberhasilan tersebut, terdapat sejumlah catatan reflektif yang perlu diperhatikan untuk membawa Al-Aziziyah menuju capaian yang lebih gemilang di masa mendatang.
Sebagai institusi besar yang memiliki pengaruh luas, Al-Aziziyah di bawah kepemimpinan TGH. Fathul Aziz Musthofa mampu menghadirkan perayaan yang tidak hanya bersifat seremonial, sekaligus mencerminkan visi besar pesantren sebagai pusat pendidikan, dakwah, dan pengabdian. Namun, beberapa aspek dari Milad ke-39 ini masih menyisakan tanda tanya terkait arah dan capaian strategisnya.
Minimnya peran serta Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Al-Aziziyah dalam ranah intelektual menjadi salah satu sorotan utama dalam Milad ini. Sebagai bagian integral dari pesantren, STIT sebenarnya memiliki peluang besar untuk menjadikan perayaan ini sebagai wadah diskusi strategis yang relevan dengan tantangan pendidikan Islam masa kini.Â
Salah satu langkah yang dapat diambil adalah menggali nilai-nilai dalam karya-karya monumental pendiri pesantren, seperti Fawaid, Risalah Mufidah fil Hajji wal Umrati, dan Adzkarul Mukminin. Ketiga karya ini seharusnya dikaji secara mendalam untuk kemudian dirumuskan menjadi sebuah mata pelajaran khas, misalnya "Kealaziziyahan," yang dapat diajarkan di setiap lembaga pendidikan di bawah naungan Al-Aziziyah, baik sebagai mata kuliah maupun sebagai bagian dari kurikulum pesantren.
Sayangnya, absennya program akademik yang bermakna, seperti seminar nasional atau lokakarya yang melibatkan para pakar dan alumni, menunjukkan lemahnya sinergi antara pesantren dan institusi pendidikan tinggi yang ada di dalamnya. Padahal, momen Milad ini bisa menjadi tonggak penting dalam memperkuat hubungan tersebut sekaligus menegaskan peran STIT Al-Aziziyah sebagai pusat kajian dan inovasi intelektual.
STIT Al-Aziziyah di tahun depan mestilah menjadi motor penggerak utama kegiatan intelektual pesantren. Seminar yang diadakan selama pra-milad, misalnya, dapat diisi dengan tema-tema yang membahas strategi Al-Aziziyah dalam menghadapi tantangan global, seperti digitalisasi pendidikan Islam, peran pesantren dalam mendukung SDGs, atau isu-isu strategis lainnya. Melibatkan dosen, mahasiswa, dan alumni STIT tidak hanya akan memperkuat kredibilitas institusi, tetapi juga mengokohkan pesantren sebagai pusat intelektual yang relevan dengan zaman.
Hal lain yang juga patut dikritisi adalah ketidakhadiran pondok-pondok alumni secara institusi dalam perayaan ini. Sebagai pesantren yang telah melahirkan banyak cabang di berbagai daerah, Milad juga seharusnya menjadi momentum mempererat hubungan antara pesantren induk dan pondok-pondok alumni. Keterlibatan mereka selain akan memperluas jangkauan acara, juga memperkuat jalinan silaturahim, solidaritas, dan rasa memiliki terhadap pesantren. Sayangnya, potensi ini tampaknya belum tergarap dengan maksimal.
Lebih jauh, perayaan ini juga belum sepenuhnya mencerminkan posisi Al-Aziziyah sebagai pondok tahfidz terkemuka di NTB. Dengan prestasi mencetak ribuan hafidz, pesantren ini seharusnya menjadikan Milad sebagai momentum mengukuhkan identitas tersebut. Misalnya, melalui peluncuran prasasti 0 Kilometer Tahfidzul Qur’an yang menegaskan bahwa Al-Aziziyah adalah pondok tahfidz pertama dan terbesar di NTB. Selain menjadi simbol kebanggaan, prasasti ini juga akan memperkuat posisi pesantren di mata masyarakat dunia.