Sebagai seorang pendamping desa, saya sering mendengar diskusi hangat tentang Ujian Nasional (UN). Bagi sebagian orang, UN adalah bukti nyata bahwa setiap siswa di Indonesia diuji secara setara.Â
Namun, bagi sebagian lainnya, terutama masyarakat pedesaan, UN lebih terasa seperti ujian ketahanan hidup, bukan sekadar ujian pengetahuan.Â
Ketika UN masih menjadi bagian penting dari sistem pendidikan, saya menyaksikan sendiri bagaimana anak-anak di desa berjuang menghadapi tantangan besar yang sering kali tidak dipahami oleh mereka yang tinggal di perkotaan.
Bagi siswa di desa, UN bukan hanya soal menyelesaikan soal-soal pilihan ganda atau esai. UN merupakan pertempuran melawan segala keterbatasan—akses ke fasilitas pendidikan yang tak memadai, keterbatasan tenaga pengajar, hingga kondisi ekonomi keluarga yang memaksa mereka membagi waktu antara belajar dan membantu pekerjaan orang tua. Dalam banyak kasus, tekanan UN tidak sekadar menjadi pemacu semangat, tetapi menjadi momok yang menghantui.
Saya masih ingat seorang anak di Pulau Medang saat saya bertugas di Sumbawa. Ia siswa yang penuh semangat dan tekad dalam belajar. Namun, di malam-malam menjelang Ujian Nasional, ketika saya menginap di pulau itu, pemandangan yang saya saksikan cukup memilukan.Â
Ia belajar dengan penerangan seadanya—lampu minyak—karena desanya belum sepenuhnya teraliri listrik. Meskipun semangatnya luar biasa, saya bisa melihat ia sering kewalahan. Malam itu, saya sempat mendengar ia mengeluh dalam bahasa Sumbawa. Ketika saya bertanya apa artinya, ia menjawab:Â
"Apa gunanya belajar kalau soalnya sulit dan tidak pernah diajar?"
Pernyataannya menusuk hati saya. Anak itu, dengan segala keterbatasannya, seperti berbicara mewakili ribuan anak lain di desa-desa di seluruh Indonesia yang menghadapi realitas serupa—berjuang keras menghadapi tantangan besar yang terkadang terasa mustahil mereka taklukkan.
UN memang memberikan standar yang seragam, tetapi apakah itu adil bagi mereka, yang tidak memulai dari garis yang sama? Di desa, buku-buku pelajaran sering kali lusuh dan usang, guru-guru bekerja dengan beban berat, dan fasilitas pendidikan jauh dari ideal. Dibandingkan dengan kota, ketimpangan itu terlalu mencolok.Â
UN tidak mempertimbangkan konteks ini. Bagaimana mungkin anak-anak desa yang belajar dengan sumber daya seadanya bersaing dengan anak-anak di kota yang memiliki akses bimbingan belajar mahal dan teknologi canggih?