Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Konsultan - Penikmat Kopi

Saat ini mengabdi pada desa. Kopi satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Parkir Sembarangan Kelas Menengah dan Ketakberdayaan Warga

19 November 2024   10:45 Diperbarui: 19 November 2024   11:34 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siang itu, sebuah kecelakaan terjadi di depan SDN 2 Cakranegara, Kota Mataram. Seorang pengendara sepeda motor yang baru saja melaju dari lampu merah di ujung jalan menabrak mobil warna hitam yang parkir sembarangan, tidak di bahu jalan, melainkan di tengah jalan. Ya, di tengah jalan!

Situasi ini bukan hanya menyakitkan bagi si pengendara yang terpaksa menghentikan aktivitasnya dengan luka di tubuh, tetapi juga menjadi simbol dari masalah yang lebih besar: egoisme pemilik kendaraan kelas menengah yang seolah tidak peduli pada dampak perbuatannya terhadap orang lain.

Jalan Pejanggik di Cakranegara adalah saksi dari pemandangan ini hampir setiap hari. Mobil-mobil berderet di sepanjang bahu jalan, bahkan tak jarang menjorok hingga ke tengah jalan, mengorbankan ruang yang seharusnya menjadi milik bersama.

Tidak sedikit mobil yang parkir di depan SDN 2 Cakranegara--salah satu sekolah yang dipandang "milik" kelas menengah, sering kali hingga tiga baris. Fenomena ini menghabiskan sebagian besar lebar jalan dan memaksa kendaraan lain bergantian melewati jalur sempit yang tersisa.

Kondisi ini diperparah pada jam sibuk, ketika orang tua menjemput anak-anak mereka dari sekolah. Alih-alih menggunakan area parkir alternatif di Mall Mataram yang luas atau lokasi lain yang lebih aman, banyak dari mereka memilih kenyamanan sesaat dengan parkir di bahu jalan, meskipun tindakan ini jelas mengganggu pengguna jalan lain.

Anehnya, pos polisi yang berada di seberang jalan tampak tak berdaya. Ketidakmampuan atau mungkin keengganan menegakkan aturan parkir menjadi tanda tanya besar.

Apakah ini soal ketidakpedulian, atau justru cerminan dari kekuatan pemilik kendaraan yang sering kali berasal dari kalangan ekonomi menengah ke atas? Sikap semena-mena ini, didukung oleh kurangnya pengawasan, menjadi gambaran bagaimana kesenjangan sosial dan keengganan mematuhi aturan justru menciptakan masalah baru.

Hal serupa juga terjadi di sepanjang jalan TGH. Ibrahim Al-Khalidy di Desa Kediri, Lombok Barat. Jalan ini menjadi salah satu jalur utama yang menghubungkan berbagai pusat aktivitas di daerah tersebut.

Namun, deretan mobil yang parkir sembarangan di sepanjang jalan membuat arus lalu lintas sering kali tersendat. Kemacetan adalah hal biasa, terutama saat ada acara besar di Masjid Jami’ atau aktivitas padat di sekitar Pesantren Al-Ishlahuddiny.

Yang menyedihkan, sebagian besar pemilik mobil yang parkir sembarangan adalah warga setempat yang sebenarnya tidak memiliki garasi. Mereka memanfaatkan bahu jalan sebagai solusi murah dan mudah menyimpan kendaraan mereka, tanpa memikirkan dampaknya terhadap pengguna jalan lain.

Ironinya, tidak jauh dari lokasi tersebut terdapat halaman masjid yang cukup luas dan bisa digunakan sebagai tempat parkir. Dengan sedikit koordinasi, pengelola masjid bisa memanfaatkan ruang ini menjadi lahan parkir berbayar.

Selain mengatasi masalah parkir, ini juga bisa menjadi sumber pendapatan tambahan bagi masjid. Namun, ide seperti ini tampaknya tidak mendapatkan perhatian serius, baik dari masyarakat maupun pemerintah daerah. Akibatnya, mobil-mobil terus memenuhi bahu jalan, menciptakan kesan bahwa ketidakpedulian telah menjadi norma.

Ketika kita membahas parkir sembarangan, tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar pelaku adalah mereka yang berasal dari kelas menengah. Kepemilikan mobil adalah simbol status, dan bagi banyak orang, memiliki kendaraan pribadi menjadi ukuran kesuksesan.

Di balik kebanggaan memiliki mobil, muncul permasalahan yang sering diabaikan: keterbatasan ruang parkir. Dalam banyak kasus, pemilik mobil tidak memiliki garasi di rumahnya. Mereka membeli kendaraan tanpa mempertimbangkan di mana kendaraan itu akan disimpan. Akibatnya, jalan umum berubah fungsi menjadi garasi pribadi, dengan biaya yang harus ditanggung oleh pengguna jalan lainnya.

Masalah ini tidak hanya terjadi di Mataram atau Lombok Barat, tetapi juga di banyak kota besar di Indonesia. Namun, apa yang membuat kasus di Kota Mataram unik adalah ketimpangan yang tampak begitu mencolok.

Di satu sisi, kita melihat mobil-mobil mahal yang parkir sembarangan tanpa rasa bersalah. Di sisi lain, kita menyaksikan pengguna jalan lain, seperti pengendara sepeda motor atau pejalan kaki, yang harus berjuang melewati jalan yang sempit dan tidak aman. Ketimpangan ini mencerminkan ketidakadilan struktural yang lebih luas, di mana mereka yang memiliki kekuasaan ekonomi sering kali lolos dari tanggung jawab.

Lalu, apa yang bisa dilakukan guna mengatasi masalah ini? Pertama, pemerintah perlu mengadopsi kebijakan yang lebih tegas terkait kepemilikan kendaraan pribadi. Salah satu contohnya adalah penerapan aturan yang mewajibkan pemilik mobil memiliki garasi sebelum membeli kendaraan.

Surat keterangan dari RT atau RW setempat bisa menjadi salah satu persyaratan dalam proses pembelian mobil. Kebijakan ini sudah diterapkan di beberapa negara maju dan terbukti efektif dalam mengurangi masalah parkir sembarangan.

Selain itu, diperlukan pengaturan waktu parkir yang lebih ketat. Misalnya, melarang parkir di jalan-jalan tertentu pada jam sibuk. Aturan ini harus didukung oleh pengawasan yang ketat dan sanksi yang tegas bagi pelanggar. Pemerintah juga bisa bekerja sama dengan pihak swasta menyediakan area parkir alternatif yang terjangkau dan mudah diakses.

Di lokasi seperti Jalan Pejanggik, pembangunan jembatan penyeberangan dari Mall Mataram ke SDN 2 Cakranegara bisa menjadi solusi jangka panjang yang tidak hanya mengatasi masalah parkir, tetapi juga meningkatkan keselamatan pejalan kaki.

Namun, aturan dan kebijakan saja tidak cukup. Dibutuhkan perubahan pola pikir di kalangan masyarakat, terutama di kelas menengah. Memiliki kendaraan pribadi adalah hak, tetapi hak ini datang dengan tanggung jawab. Empati terhadap sesama pengguna jalan harus menjadi bagian dari budaya berkendara.

Pemilik kendaraan harus menyadari bahwa tindakan mereka memiliki konsekuensi bagi orang lain, dan kesadaran ini hanya bisa dibangun melalui pendidikan dan kampanye publik yang berkelanjutan.

Pada akhirnya, masalah parkir sembarangan bukan sekadar soal tata ruang atau kebijakan transportasi. Ini adalah cerminan dari bagaimana kita, sebagai masyarakat, memahami hak dan tanggung jawab kita dalam ruang publik.

Jika ketidakpedulian terus dibiarkan, jalan raya akan menjadi medan konflik yang tidak hanya mengancam keselamatan, tetapi juga mencerminkan kegagalan kita dalam menciptakan ruang hidup yang adil dan harmonis.

Di tengah semua ini, ketakberdayaan warga biasa menjadi pengingat pahit bahwa dalam banyak hal, mereka yang memiliki kekuatan ekonomi sering kali menentukan aturan, bahkan di ruang yang seharusnya menjadi milik bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun