Ironinya, tidak jauh dari lokasi tersebut terdapat halaman masjid yang cukup luas dan bisa digunakan sebagai tempat parkir. Dengan sedikit koordinasi, pengelola masjid bisa memanfaatkan ruang ini menjadi lahan parkir berbayar.
Selain mengatasi masalah parkir, ini juga bisa menjadi sumber pendapatan tambahan bagi masjid. Namun, ide seperti ini tampaknya tidak mendapatkan perhatian serius, baik dari masyarakat maupun pemerintah daerah. Akibatnya, mobil-mobil terus memenuhi bahu jalan, menciptakan kesan bahwa ketidakpedulian telah menjadi norma.
Ketika kita membahas parkir sembarangan, tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar pelaku adalah mereka yang berasal dari kelas menengah. Kepemilikan mobil adalah simbol status, dan bagi banyak orang, memiliki kendaraan pribadi menjadi ukuran kesuksesan.
Di balik kebanggaan memiliki mobil, muncul permasalahan yang sering diabaikan: keterbatasan ruang parkir. Dalam banyak kasus, pemilik mobil tidak memiliki garasi di rumahnya. Mereka membeli kendaraan tanpa mempertimbangkan di mana kendaraan itu akan disimpan. Akibatnya, jalan umum berubah fungsi menjadi garasi pribadi, dengan biaya yang harus ditanggung oleh pengguna jalan lainnya.
Masalah ini tidak hanya terjadi di Mataram atau Lombok Barat, tetapi juga di banyak kota besar di Indonesia. Namun, apa yang membuat kasus di Kota Mataram unik adalah ketimpangan yang tampak begitu mencolok.
Di satu sisi, kita melihat mobil-mobil mahal yang parkir sembarangan tanpa rasa bersalah. Di sisi lain, kita menyaksikan pengguna jalan lain, seperti pengendara sepeda motor atau pejalan kaki, yang harus berjuang melewati jalan yang sempit dan tidak aman. Ketimpangan ini mencerminkan ketidakadilan struktural yang lebih luas, di mana mereka yang memiliki kekuasaan ekonomi sering kali lolos dari tanggung jawab.
Lalu, apa yang bisa dilakukan guna mengatasi masalah ini? Pertama, pemerintah perlu mengadopsi kebijakan yang lebih tegas terkait kepemilikan kendaraan pribadi. Salah satu contohnya adalah penerapan aturan yang mewajibkan pemilik mobil memiliki garasi sebelum membeli kendaraan.
Surat keterangan dari RT atau RW setempat bisa menjadi salah satu persyaratan dalam proses pembelian mobil. Kebijakan ini sudah diterapkan di beberapa negara maju dan terbukti efektif dalam mengurangi masalah parkir sembarangan.
Selain itu, diperlukan pengaturan waktu parkir yang lebih ketat. Misalnya, melarang parkir di jalan-jalan tertentu pada jam sibuk. Aturan ini harus didukung oleh pengawasan yang ketat dan sanksi yang tegas bagi pelanggar. Pemerintah juga bisa bekerja sama dengan pihak swasta menyediakan area parkir alternatif yang terjangkau dan mudah diakses.
Di lokasi seperti Jalan Pejanggik, pembangunan jembatan penyeberangan dari Mall Mataram ke SDN 2 Cakranegara bisa menjadi solusi jangka panjang yang tidak hanya mengatasi masalah parkir, tetapi juga meningkatkan keselamatan pejalan kaki.
Namun, aturan dan kebijakan saja tidak cukup. Dibutuhkan perubahan pola pikir di kalangan masyarakat, terutama di kelas menengah. Memiliki kendaraan pribadi adalah hak, tetapi hak ini datang dengan tanggung jawab. Empati terhadap sesama pengguna jalan harus menjadi bagian dari budaya berkendara.