Tulisan ini merupakan remake dari wacana lama yang disesuaikan untuk dipertimbangkan pada tahun 2025 nanti. Penghapusan posisi operator komputer (opkom) sejak pemangkasan operasional program P3MD berdampak pada efektivitas pendampingan desa.
Sejak program P3MD (Program Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa) mengalami pemangkasan operasional, posisi operator komputer (opkom) dalam struktur pendampingan desa ikut terdampak. Langkah “merumahkan” opkom pada banyak wilayah terpaksa diambil akibat keterbatasan anggaran, namun hal ini justru menimbulkan dampak yang tak terhindarkan: struktur program menjadi pincang.
Padahal, operator komputer memiliki peran strategis dalam menjaga ketepatan dan kecepatan pengelolaan data. Dalam beberapa kasus, ada kabupaten yang tetap mempertahankan opkom meski harus dengan cara swadaya, yakni para Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat (TAPM) yang rela merogoh kantong pribadi demi menggaji operator komputer. Hal ini tidak hanya menunjukkan peran vital opkom, tetapi juga mencerminkan urgensi mereka dalam mendukung operasional pendampingan desa yang efektif dan efisien.
Secara teknis, operator komputer adalah penjaga sekaligus pengepul data. Mereka memproses data yang telah diverifikasi di lapangan oleh berbagai tingkat, kemudian menginputnya ke dalam dashboard pusat. Hal ini penting guna memastikan bahwa data yang masuk telah melalui penyaringan ketat dan akurat sebelum diserahkan untuk evaluasi kebijakan di tingkat atas.
Peran ini seharusnya berada di luar lingkup tugas Pendamping Lokal Desa (PLD), Pendamping Desa (PD), maupun Tenaga Ahli (TA) yang memiliki tugas utama sebagai fasilitator pemberdayaan masyarakat dan pembinaan aparatur desa. Menghabiskan waktu mereka pada penginputan data teknis yang membutuhkan fokus dan keterampilan tersendiri justru akan mengurangi efektivitas mereka dalam memberikan bimbingan lapangan. Ironisnya, walau operator komputer begitu penting, posisi ini justru ditiadakan dengan alasan efisiensi anggaran.
Keputusan merampingkan program dan “merumahkan” opkom menjadi keputusan yang harus ditinjau kembali. Dengan dihapuskannya posisi ini, beban teknis pengelolaan data dilemparkan kembali ke pendamping lapangan, yang seharusnya memiliki fokus kerja yang lebih strategis dan berorientasi pada pemberdayaan masyarakat desa.
Beban administratif dan teknis yang seharusnya menjadi tanggung jawab opkom kini harus diambil alih oleh PLD, PD, dan bahkan TA, yang tidak selalu memiliki keterampilan yang memadai dalam pengelolaan sistem data. Akibatnya, banyak dari mereka harus menghabiskan waktu tambahan hanya untuk memastikan data dapat masuk dengan benar, belum lagi risiko kesalahan data yang lebih tinggi karena dikerjakan oleh personel yang tidak fokus pada hal tersebut.
Ketiadaan opkom juga berdampak pada produktivitas dan efektivitas pendamping desa secara keseluruhan. Tanpa adanya opkom yang berdedikasi pada penginputan data, para pendamping yang lebih sering di lapangan menghadapi beban tambahan, yang berdampak pada berkurangnya waktu mereka dalam memberikan pelatihan, konsultasi, atau fasilitasi masyarakat desa yang sebenarnya sangat membutuhkan bimbingan.
Kondisi ini berisiko menurunkan kualitas hasil program, mengingat interaksi langsung dengan masyarakat menjadi terbatas karena pendamping desa terjebak pada urusan administratif.
Selain itu, penginputan data yang memerlukan waktu, ketelitian, serta keahlian khusus sering kali justru menyebabkan keterlambatan pelaporan atau data yang tidak akurat, dan ini tentunya berpengaruh pada pengambilan keputusan di tingkat pusat.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!