Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Konsultan - Penikmat Kopi

Beryn, lahir di Pulau Seribu Masjid, saat ini mengabdi pada desa sebagai TPP BPSDM Kementerian Desa dengan posisi sebagai TAPM Kabupaten. Sebelumnya, ia aktif mengajar di beberapa perguruan tinggi. Beryn memiliki minat pada isu sosial, budaya, dan filsafat Islam. Saat kuliah, Beryn pernah mencoba berbagai aktivitas umumnya seperti berorganisasi, bermain musik, hingga mendaki gunung, meskipun begitu satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya adalah menikmati secangkir kopi.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Mendorong Kemandiarian Janda Melalui SDGs Desa

2 November 2024   16:13 Diperbarui: 2 November 2024   16:25 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (sumber: www.pexels.com)

Perhatian publik terhadap janda di Lombok kembali mencuat, terutama setelah laporan Radar Mandalika mengenai “Dukcapil Catat Belasan Ribu Janda di Lombok Utara” pada 5 Agustus 2024.

Sebelumnya, pada Maret 2023, ADBMI, lembaga non-profit yang berkaitan dengan Pekerja Migran dan Human Trafficking, telah merilis data tentang “5 Kabupaten Dengan Jumlah Janda Tertinggi di Provinsi NTB.” Fenomena ini mencerminkan dinamika sosial yang memengaruhi kehidupan perempuan di Lombok, mengundang perhatian untuk memahami lebih dalam kondisi mereka.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, Kabupaten Lombok Barat tercatat memiliki 20.825 janda, diikuti Lombok Timur dengan 19.036 janda, dan Lombok Tengah dengan 18.099 janda. Angka ini terus meningkat, terutama pada tahun 2023, dengan sebaran kasus cerai hidup dan cerai mati yang signifikan di berbagai kecamatan. Di Kecamatan Bayan, misalnya, terdapat 1.143 kasus cerai hidup dan 2.144 kasus cerai mati, sementara di Kecamatan Tanjung, angka cerai hidup mencapai 1.073 dan cerai mati 2.568. Komplikasi lebih lanjut muncul seiring dengan populasi Pulau Lombok yang mencapai 3.936.194 jiwa pada tahun 2023, dengan kepadatan penduduk yang tinggi yaitu 724 jiwa per kilometer persegi.

Banyak pihak menganggap poligami sebagai solusi dalam masalah ini, terutama di tengah struktur sosial Lombok yang masih mempertahankan praktik tersebut. Dalam pandangan masyarakat, poligami kadang dilihat sebagai bentuk kepedulian dan perlindungan terhadap perempuan yang ditinggalkan pasangan atau tidak mampu lagi menanggung beban hidup. Namun, dari perspektif sosiologi, pendekatan ini perlu dilihat secara kritis. Poligami bukanlah solusi struktural dan berkelanjutan dalam masalah ekonomi dan sosial yang dihadapi para janda. Tantangan yang mereka hadapi lebih bersifat multidimensional dan memerlukan pendekatan yang lebih menyeluruh, khususnya terkait pemberdayaan ekonomi dan akses terhadap pendidikan.

Peningkatan angka janda di Lombok sejatinya menunjukkan adanya masalah yang lebih mendasar dalam sistem sosial dan ekonomi. Tingginya tingkat perceraian dan kematian pasangan merupakan cerminan dari ketidakstabilan dalam institusi keluarga yang dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti kemiskinan, rendahnya akses terhadap pendidikan, ketidakseimbangan ekonomi, dan lemahnya dukungan sosial. Para perempuan yang kehilangan pasangan kerap kali berada dalam kondisi ekonomi yang rapuh, bergantung pada bantuan keluarga atau masyarakat sekitar. Dalam konteks inilah SDGs Desa, atau Sustainable Development Goals yang disesuaikan pada tingkat desa, berperan penting.

SDGs Desa yang fokus pada pemberdayaan masyarakat desa, termasuk perempuan, menjadi salah satu strategi paling relevan mengatasi masalah ini. Tujuan pertama SDGs Desa, yaitu Desa Tanpa Kemiskinan, berupaya menghapus ketimpangan dan kemiskinan di pedesaan melalui berbagai program pemberdayaan ekonomi. Mengalokasikan Dana Desa secara khusus pada program pengembangan keterampilan dan kewirausahaan bagi para janda, misalnya, dapat menjadi solusi jangka panjang yang lebih efektif. Dengan keterampilan dan dukungan ekonomi yang memadai, mereka akan mampu membangun kemandirian finansial dan mengurangi ketergantungan terhadap orang lain, termasuk pilihan menjadi bagian dari pernikahan poligami.

Selain itu, SDGs Desa kedua, yaitu Desa Tanpa Kelaparan, dapat dioptimalkan memberikan bantuan khusus kepada janda-janda di pedesaan yang berada dalam kategori rentan pangan. Melalui program bantuan pangan serta pelatihan terkait ketahanan pangan dan keterampilan pertanian, mereka tidak hanya memperoleh kebutuhan dasar, tetapi juga diberdayakan mengelola sumber daya alam yang tersedia di sekitarnya. Dengan demikian, mereka akan memiliki akses yang lebih baik terhadap pangan tanpa harus bergantung pada pihak lain.

Pada tingkat yang lebih lanjut, SDGs Desa ketiga, yaitu Desa Sehat dan Sejahtera, bisa mencakup program dukungan psikologis dan kesehatan bagi para janda, yang kerap mengalami tekanan emosional dan psikologis akibat kehilangan pasangan. Program kesehatan mental dan bimbingan psikologis dapat menjadi sarana bagi mereka untuk memperoleh dukungan moril, serta mengurangi stigma sosial yang mungkin mereka alami. Langkah ini juga akan memperkuat ketahanan sosial dan emosional mereka, memberikan dorongan agar mereka tetap kuat dalam menghadapi tantangan hidup.

Selanjutnya, pendidikan adalah faktor penting yang harus disertakan dalam pemberdayaan para janda di Lombok. SDGs Desa keempat, Pendidikan Desa Berkualitas, menyediakan peluang bagi perempuan yang kehilangan pasangan guna memperoleh akses ke program pendidikan non-formal, pelatihan keterampilan, dan pendampingan yang sesuai. Dengan memiliki akses terhadap pendidikan, mereka tidak hanya memperoleh kemampuan baru, tetapi juga memiliki pilihan yang lebih baik dalam menghidupi diri sendiri dan anak-anak mereka. Program pelatihan keterampilan seperti kewirausahaan, keterampilan menjahit, atau pengelolaan usaha kecil-kecilan dapat membuka pintu bagi mereka berkontribusi pada perekonomian desa sekaligus memperbaiki kesejahteraan keluarganya.

Meskipun poligami kadang dianggap sebagai solusi jangka pendek, praktik ini memiliki konsekuensi sosial dan ekonomi yang tidak bisa diabaikan. Sebagai bentuk pernikahan, poligami sering kali membatasi peran dan kebebasan perempuan serta meningkatkan potensi konflik dalam hubungan keluarga. Dari perspektif sosiologi, solusi yang berbasis poligami hanya bersifat sementara, tidak mengubah akar masalah kemiskinan, ketimpangan, atau akses terhadap peluang ekonomi. Bahkan, dalam beberapa kasus, poligami justru dapat memperburuk kondisi perempuan, terutama jika praktik ini tidak dilakukan dengan prinsip keadilan dan kesejahteraan yang setara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun