Pertanyaan itu membuat saya tersenyum tipis. Sebagai seseorang yang sudah bertahun-tahun bergelut di dunia pemberdayaan, pertanyaan semacam itu sudah menjadi makanan sehari-hari. Meski terdengar lucu, di balik kelucuannya ada ironi tentang persepsi yang seringkali kurang tepat terhadap profesi ini.
Seperti kebanyakan pekerjaan di bidang sosial, Pendamping Desa sering dianggap hanya sebagai pilihan sementara, pelarian, atau bahkan sekadar jalan keluar dari pengangguran.
Namun, Hari Sumpah Pemuda selalu menghadirkan momen reflektif. Di usia yang kian bertambah, saya merasa ada banyak nilai yang bisa digali dalam pekerjaan ini, sesuatu yang sejatinya mencerminkan semangat Sumpah Pemuda itu sendiri: bersatu melakukan sesuatu bagi bangsa.
Usia saya memang tidak muda lagi, tapi semangat belajar dan memberi makna bagi hidup tetap berkobar. Memang benar, pengangguran sering kali menjadi momok bagi kaum muda. Tetapi bekerja di desa bukanlah sekadar mengisi waktu atau menghindari label "pengangguran."
Ini adalah bentuk panggilan hati, dorongan untuk turut membangun masyarakat dari bawah. Ketika para pemuda dan orang-orang dengan pengalaman hidup yang lebih kaya diberi ruang berkontribusi di desa, mereka bukan hanya mengurangi angka pengangguran, tetapi juga membentuk masyarakat yang lebih mandiri dan inklusif.
Lantas, mengapa desa?
Desa adalah pondasi dari keberagaman dan kekayaan bangsa kita. Di sinilah kekuatan utama Indonesia tersembunyi, di balik keheningan, keterbatasan, dan kekayaan alam yang melimpah. Lewat Undang-Undang Desa, desa kini memiliki kekuatan menentukan arah pembangunan mereka sendiri.
Saya melihat desa sebagai ruang penuh potensi yang kerap tidak tergarap dengan baik. Menjadi Pendamping Desa berarti menjadi penghubung antara pemerintah dan warga, memastikan bahwa sumber daya digunakan secara bijaksana, melayani kebutuhan masyarakat, dan membangun kapasitas mereka.
Ini bukan sekadar angka atau proyek, tetapi soal menciptakan perubahan nyata yang berakar pada kebutuhan masyarakat.
Pertanyaan “Mengapa desa?” sering kali hadir, terutama dari mereka yang belum memahami kompleksitas dan tantangan yang dihadapi masyarakat pedesaan.