"Aku mendengar kau membaca selawat tadi pagi," ujar Hendra perlahan, membuka percakapan. "Shalawat Nariyah."
Pria itu menoleh perlahan, menatap Hendra dengan sorot mata yang penuh arti. "Iya, selawat itu selalu mengingatkanku pada banyak hal. Pada perlindungan Allah... dan pada segala sesuatu yang hilang."
Hendra terdiam, merasa bahwa pria di depannya bukan orang biasa. "Namamu siapa?" tanyanya, mencoba lebih akrab.
"Namaku Karim, dulu aku dipanggil Eki" jawab pria itu sambil tersenyum tipis. "Aku tahu siapa kau, Hendra. Kau tidak seharusnya berada di sini."
Hendra terkejut. "Kau tahu aku?"
Karim menatapnya dalam-dalam, seolah membaca isi hatinya. "Aku tahu lebih banyak daripada yang kau kira. Aku tahu tentang desamu, tentang orang-orang yang mencoba menghancurkanmu. Mereka, yang sama-sama mencoba menghancurkanku."
Hendra merasa jantungnya berdetak kencang. "Apa maksudmu? Siapa yang kau maksud?"
Karim menghela napas panjang, lalu dengan suara berat, ia berkata, "Aku dulunya bekerja untuk mereka. Jenderal-jenderal dan menteri-menteri itu. Aku bagian dari mereka yang ditugaskan mengamankan proyek-proyek. Tugas kami memastikan desa-desa kecil tidak tahu apa yang sedang terjadi di bawah tanah mereka. Tapi semua berubah saat keluargaku... dibunuh."
Hendra terpaku, menatap Karim dengan tak percaya. "Dibunuh? Apa maksudmu?"
"Mereka membuatnya terlihat seperti kecelakaan pesawat. Waktu itu, keluargaku sedang dalam perjalanan menghadiri hajatan keluarga besar kami di Sumbawa. Pesawat yang mereka naiki jatuh. Awalnya aku mengira itu memang kecelakaan. Sampai suatu hari aku mendengar pembicaraan telepon rekan kerjaku yang lupa dimatikan. Dalam percakapan itu, aku mendengar mereka mengatakan bahwa pesawat itu sengaja dijatuhkan."
Hendra terperangah. "Kenapa mereka melakukannya? Kenapa keluargamu yang menjadi korban?"