Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Konsultan - Penikmat Kopi

Saat ini mengabdi pada desa. Kopi satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ego Sektoral dalam Regulasi Perencanaan Desa: PR Mendagri dan Mendes yang Baru

27 Oktober 2024   11:14 Diperbarui: 10 November 2024   11:53 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam konteks pembangunan desa di Indonesia, regulasi yang mengatur perencanaan dan pengelolaan desa semakin beragam dengan hadirnya peraturan dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT). 

Dua peraturan utama yang terkait dengan pembangunan desa adalah Permendagri No. 114/2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa dan Permendesa No. 21/2020 tentang Pedoman Umum Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa. Selain itu, hadirnya Permendagri No. 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa memperbarui beberapa ketentuan dalam Permendagri 114/2014 dan menambah kompleksitas perencanaan desa

Ketiga regulasi ini, meskipun memiliki tujuan baik, menunjukkan adanya perbedaan pendekatan yang menimbulkan potensi dilema dalam pelaksanaannya di tingkat desa. Ego sektoral kedua kementerian sering menjadi tantangan besar bagi Pemerintah Desa, Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD), dan pendamping desa dalam menentukan regulasi mana yang sebaiknya diprioritaskan untuk diimplementasikan.

Perbedaan Utama dalam Regulasi Perencanaan Desa

Beberapa perbedaan mendasar antara Permendagri 114/2014 dan Permendesa 21/2020 sebagai berikut:

1. Waktu Penyusunan RKP Desa

Permendagri 114/2014 mengatur bahwa RKP Desa disusun pada bulan Juli tahun berjalan tanpa ketentuan jelas kapan harus ditetapkan. Sedangkan dalam Permendesa 21/2020 menambahkan ketentuan bahwa RKP Desa tidak hanya disusun pada bulan Juli tetapi harus ditetapkan paling lambat akhir September. Permendesa ini menjadikan prosesnya lebih terjadwal dan terukur.

2. Pembentukan Tim Penyusun RKP Desa

Permendagri 114/2014 menyebut bahwa tim penyusun terdiri dari kepala desa sebagai pembina, sekretaris desa sebagai ketua, ketua LPM sebagai sekretaris, dan anggota dari perangkat desa, LPM, KPMD, serta unsur masyarakat lainnya.

Adapun Permendesa 21/2020 mengubah susunan ini dengan menempatkan ketua tim yang dipilih secara musyawarah dengan mempertimbangkan keahlian, sedangkan sekretaris ditunjuk oleh ketua, dan anggota mencakup perangkat desa, KPMD, serta unsur masyarakat lain. Perubahan ini memungkinkan fleksibilitas dalam pemilihan ketua tim dan penguatan kemampuan anggota tim berdasarkan kompetensi.

3. Jumlah Tim Penyusun

Permendagri 114/2014 menetapkan jumlah tim minimal 7 orang dan maksimal 11 orang, sedangkan Permendesa 21/2020 menetapkan minimal 7 orang, tetapi juga menekankan kesetaraan gender sebagai pertimbangan penting dalam menentukan anggota tim.

4. Tugas Tim Penyusun RKP Desa

Permendagri 114/2014 memuat tugas seperti pencermatan pagu indikatif, penyusunan rancangan RKP, dan penyusunan DU RKP. Adapun Permendesa 21/2020 menguraikan tugas tim dengan lebih rinci, termasuk tahap penyusunan desain teknis dan RAB kegiatan, yang memperjelas proses serta standar penyusunan anggaran.

5. Tahapan Penyusunan dan Penetapan RKP Desa

Permendagri 114/2014 menguraikan tahapan mulai dari musyawarah desa hingga pengajuan DU RKP Desa. Adapun Permendesa 21/2020 menambahkan proses penetapan melalui musyawarah desa yang menghasilkan berita acara dan pengesahan dokumen RKP Desa, sehingga memberikan legitimasi lebih kuat melalui keterlibatan masyarakat.

Dilema dan Tantangan Ego Sektoral

Regulasi yang bersumber dari dua kementerian menimbulkan dilema bagi Dinas PMD, Pemerintah Desa, dan pendamping desa dalam memilih pedoman mana yang harus diikuti. 

Ego sektoral antara Kemendagri dan Kemendesa PDTT memengaruhi kejelasan implementasi regulasi, menciptakan tumpang tindih dan kebingungan di tingkat desa, terutama ketika kedua kementerian mengeluarkan aturan yang saling tumpang tindih. Selain itu, Dinas PMD dan Pemerintah Desa menghadapi kesulitan dalam konsistensi administrasi dan akuntabilitas karena perbedaan prosedur yang harus dijalankan sesuai pedoman masing-masing kementerian.

Pengaruh Permendagri terhadap Pengelolaan Keuangan Desa

Permendagri No. 20 Tahun 2018, yang mengatur pengelolaan keuangan desa, menekankan prosedur lebih rinci terkait pengelolaan anggaran desa mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pelaporan dan pertanggungjawaban. 

Regulasi ini menambahkan langkah-langkah administratif dalam pengelolaan dana, termasuk pengawasan terhadap realisasi belanja sesuai dengan APBDes. Meskipun Permendagri 20/2018 memberi panduan pengelolaan dana yang lebih tertib, regulasi ini juga meningkatkan beban administrasi bagi perangkat desa dan memerlukan harmonisasi dengan Permendesa 21/2020 dalam hal perencanaan keuangan dan pelaksanaan program pembangunan desa.

Dampak Pelaksanaan di Lapangan

Perbedaan regulasi ini menimbulkan kebingungan dan menghambat proses perencanaan di desa. Beberapa dampak langsung yang dialami di lapangan adalah:

Keterlambatan Penyusunan dan Penetapan RKP Desa: Konflik mengenai pedoman yang digunakan mengakibatkan beberapa desa terlambat menyusun atau menetapkan RKP, mengganggu siklus pembangunan dan pengucuran dana.

Kesulitan dalam Penyusunan APBDes: Ketidakjelasan regulasi menyebabkan perangkat desa kesulitan menyelaraskan program desa dalam APBDes, berpotensi menimbulkan masalah hukum di kemudian hari jika penggunaan dana tidak sesuai dengan salah satu peraturan.

Beban Administrasi pada Pemerintah Desa dan Pendamping Desa: Perangkat desa dan pendamping desa harus memahami ketentuan yang berbeda, yang memakan waktu dan menguras energi.

Solusi Mengatasi Ego Sektoral

Guna mengatasi hal ini, diperlukan langkah strategis yang dapat mengharmonisasikan peraturan dan memberikan kejelasan pada Pemerintah Desa, Dinas PMD, dan pendamping desa:

Pembentukan Tim Sinkronisasi Antar-Kementerian. Pemerintah pusat, melalui Kemendagri dan Kemendesa PDTT, perlu membentuk tim sinkronisasi regulasi desa. Tim ini bertugas mengidentifikasi dan menyesuaikan ketentuan yang berbeda di kedua kementerian, serta menerbitkan satu pedoman terpadu untuk menghindari tumpang tindih aturan.

Peningkatan Kapasitas SDM Pemerintah Desa dan Pendamping Desa. Pelatihan intensif bagi perangkat desa dan pendamping desa akan membantu mereka memahami regulasi dengan lebih baik dan menjalankan perencanaan serta pengelolaan desa dengan lebih efisien. Pelatihan ini bisa difokuskan pada pemahaman praktis peraturan dan pembuatan dokumen yang seragam.

Penggunaan Sistem Elektronik sebagai Integrasi Data Perencanaan dan Penganggaran Desa. Sistem aplikasi berbasis digital yang terintegrasi di tingkat pusat akan memudahkan sinkronisasi data perencanaan dan penganggaran desa. Aplikasi ini dapat memuat ketentuan terpadu yang otomatis menyesuaikan dengan regulasi terbaru dari kedua kementerian, sehingga mengurangi risiko kesalahan dalam penyusunan RKP dan APBDes.

Penyederhanaan Regulasi melalui KebijakanOne Village, One Rule.” Salah satu kementerian mengeluarkan satu regulasi utama yang menjadi pedoman tunggal bagi desa, sementara kementerian lainnya mengeluarkan aturan yang lebih bersifat teknis pendukung. Kebijakan ini akan mengurangi tumpang tindih regulasi dan memudahkan desa dalam menjalankan perencanaan serta pelaksanaan kegiatan.

Penguatan Fungsi Pengawasan oleh Dinas PMD di Kabupaten/Kota. Dinas PMD sebagai perwakilan pemerintah di daerah perlu diberi kewenangan lebih dalam melakukan verifikasi dan pembinaan terkait pemahaman dan penerapan regulasi desa. Dengan memperkuat fungsi pengawasan ini, Dinas PMD dapat mencegah terjadinya kesalahan interpretasi di desa-desa.

Ego sektoral antara Kemendagri dan Kemendesa PDTT dalam mengeluarkan regulasi yang berkaitan dengan perencanaan desa menimbulkan kebingungan dan dilema dalam pelaksanaan di tingkat desa. Meski keduanya memiliki niat baik untuk mendorong pembangunan desa, perbedaan ini berdampak pada keterlambatan perencanaan, peningkatan beban administrasi, serta kesulitan dalam menyusun APBDes. 

Upaya sinkronisasi regulasi, peningkatan kapasitas SDM, dan penyederhanaan aturan menjadi langkah konkret dalam mengatasi tantangan ini, sehingga pembangunan desa berjalan lebih efektif dan terarah sesuai tujuan dari masing-masing regulasi kementerian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun