Hendra merasakan angin dingin berhembus, membawa rasa gentar di dadanya. Ia tahu bahwa badai belum berakhir—bahkan mungkin yang terburuk belum datang.
-----
Hendra merasakan sepinya malam di balik jeruji besi. Langit yang dulu begitu luas terasa semakin sempit di dalam penjara, tempat ia kini terkurung oleh fitnah keji yang menjatuhkannya. Karirnya sebagai pendampingnya desa, yang ia bangun dengan penuh dedikasi dan pengabdian, lenyap dalam sekejap. Tuduhan palsu itu telah menghancurkan segalanya. Meskipun banyak yang tahu bahwa Hendra adalah seorang pekerja keras dengan prestasi luar biasa, pepatah lama nila setitik merusak susu sebelanga menjadi nasibnya kini.
Di penjara, Hendra berjuang dengan pikiran yang penuh beban. Bukan hanya rasa malu dan kecewa, tetapi juga keputusasaan atas masa depan yang kini tampak suram. Setiap hari ia menatap langit dari balik jeruji, berharap ada secercah keajaiban yang bisa membuktikan bahwa dirinya tak bersalah. Namun, harapan itu terasa semakin jauh.
Pada suatu hari, ketika berada di lapangan penjara untuk waktu olahraga, Hendra bertemu dengan seorang pria bernama Zaki. Sosok yang tenang dan berwawasan luas ini dikenal sebagai seorang ahli digital forensik sebelum terjerat kasus yang membuatnya harus mendekam di balik jeruji. Zaki dituduh terlibat dalam kasus manipulasi data digital, tetapi hingga kini ia tetap mengklaim bahwa ia dijebak. Meski demikian, Zaki adalah sosok yang penuh pengetahuan, dan di penjara itu, ia menemukan banyak teman, termasuk Hendra.
Setiap kali mereka diberi waktu berkumpul di lapangan, Hendra dan Zaki sering duduk bersama, berbincang tentang banyak hal. Perlahan-lahan, Hendra mulai membuka diri, menceritakan bagaimana hidupnya hancur oleh sebuah rekaman video yang jelas-jelas merupakan hasil rekayasa. Zaki mendengarkan dengan seksama, dan dari situ, obrolan mereka mulai merambah ke hal-hal yang lebih mendalam tentang teknologi digital.
Zaki menatap Hendra dengan pandangan penuh empati. “Video rekayasa bisa dibuat dengan teknik-teknik tertentu, dan sayangnya, orang awam sulit membedakan mana yang asli dan mana yang palsu,” katanya sambil menatap jauh. “Namun, ada cara-cara untuk membuktikan kebenarannya, hanya saja, kau butuh orang yang paham betul untuk meneliti bukti-buktinya.”
Hendra terdiam sesaat, mencoba mencerna ucapan Zaki. “Kau bilang ada cara untuk membuktikan kalau video itu palsu?” tanyanya pelan.
Zaki mengangguk. “Ya, dengan teknik digital forensik, kita bisa memeriksa setiap frame, setiap metadata yang ada di dalamnya. Jika ada manipulasi, kita bisa temukan polanya. Wajah bisa dipalsukan, suara bisa disunting, tapi ada detail kecil yang sering terlewat oleh para pelaku rekayasa. Jika kau bisa mendapatkan file asli dari video itu, mungkin ada harapan.”
Percakapan itu terus berlanjut. Zaki mulai mengajari Hendra berbagai hal tentang cara memvalidasi keaslian sebuah video. Bagaimana mendeteksi adanya deepfake, bagaimana memeriksa metadata yang disematkan pada file video, hingga cara menganalisis bayangan dan pencahayaan yang seringkali menjadi petunjuk paling jelas dari video palsu. Meskipun Hendra tidak memiliki latar belakang di bidang teknologi, ia menyerap semua informasi itu dengan penuh semangat. Di dalam penjara, hal itu seolah menjadi satu-satunya harapan yang bisa ia genggam.
Namun, kendala terbesar Hendra adalah akses. Di dalam penjara, ia tak bisa mendapatkan video asli itu. Apalagi dengan posisinya yang telah dipecat sebagai pendamping desa, akses terhadap bukti-bukti penting semakin sulit ia dapatkan. Tapi ia tahu, di luar sana, masih ada orang-orang yang percaya padanya.