“Ketangguhan tidak lagi kata-kata; ia bertumbuh menjadi bagian dari identitas, pusaka yang diwariskan dari generasi ke generasi, untuk bertahan di tanah yang tak pernah sepenuhnya tenang.”
Lombok, sebuah pulau kecil di Nusa Tenggara Barat, telah lama menjadi saksi sejarah gempa bumi yang berulang kali mengguncang dan menguji ketahanan masyarakatnya. Sejak abad ke-19, gempa-gempa besar telah menghantam wilayah ini, meninggalkan jejak kehancuran yang tak mudah dilupakan.
Salah satu catatan paling awal adalah gempa dahsyat pada 25 Juli 1856, yang disertai tsunami, mengubah lanskap dan kehidupan di Lombok selamanya. Aktivitas seismik di wilayah ini tak pernah berhenti, berlanjut dengan gempa berkekuatan 6,0 SR pada 21 Desember 1970, yang mengingatkan kembali akan rapuhnya tanah tempat mereka berpijak.
Namun, peristiwa paling mengerikan terjadi pada 5 Agustus 2018. Hari itu, Lombok diguncang gempa berkekuatan 7,0 SR, bagian dari rangkaian gempa yang dimulai sejak 29 Juli 2018. Ratusan nyawa melayang, ribuan rumah hancur, dan lebih dari 417.000 orang terpaksa mengungsi. Kerugian ekonomi membengkak hingga triliunan rupiah, meninggalkan bekas luka yang dalam, baik di hati masyarakat maupun di infrastruktur yang runtuh.
Di tengah puing-puing dan trauma, upaya pemulihan dan mitigasi mulai disusun. Kesadaran akan pentingnya infrastruktur yang lebih tahan gempa mulai bertumbuh, begitu pula pemahaman bahwa risiko bencana adalah bagian tak terpisahkan dari denyut nadi kehidupan mereka mulai bertunas.
Di tingkat desa, kesadaran ini diwujudkan melalui inisiatif strategis yang inovatif: integrasi Pengurangan Risiko Bencana (PRB) ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa) melalui proses tagging kegiatan. Ini bukan sekadar strategi, tetapi komitmen pemastian bahwa setiap rencana pembangunan desa tidak hanya berfokus pada kemajuan fisik, tetapi juga pada kelangsungan dan keamanan warga.
Proses tagging memungkinkan setiap kegiatan yang berhubungan dengan pengurangan risiko bencana ditandai secara jelas dalam dokumen perencanaan desa. Hasilnya, alokasi sumber daya menjadi lebih tepat sasaran, dan program mitigasi bisa dilaksanakan dengan lebih efektif. Ini adalah langkah kecil dengan dampak besar, memastikan bahwa desa-desa di Lombok lebih siap menghadapi bencana di masa depan.
Inisiatif ini tidak muncul dari ruang hampa. Di baliknya ada kolaborasi erat antara pelbagai pihak: Tenaga Pendamping Profesional (TPP) Provinsi NTB, TPP Kabupaten, dan LSM KONSEPSI, semuanya bekerja bahu membahu, dengan dukungan penuh dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Provinsi NTB. Mereka bersama-sama mengidentifikasi kebutuhan, mengumpulkan data kebencanaan, dan menyusun regulasi yang sesuai dengan kondisi lokal.
Kerja keras tersebut melahirkan Peraturan Gubernur Nomor 83 Tahun 2023 (Pergub 83), yang memberikan landasan hukum dalam integrasi pengurangan risiko bencana pada perencanaan desa di NTB. Pergub ini menetapkan standar dan prosedur yang jelas, yang memungkinkan desa-desa di NTB mengimplementasikan strategi mitigasi secara efektif. Lebih dari sekadar regulasi, upaya ini sebagai satu upaya membangun ketangguhan dari tingkat provinsi hingga desa, memastikan masyarakat Lombok siap menghadapi tantangan di masa depan.