Hari Bakti Pendamping Desa seharusnya menjadi momen mengapresiasi jasa para pendamping yang telah bekerja tanpa lelah demi kemajuan desa. Namun, di tengah ketidakpastian politik dan kebijakan yang menyelimuti nasib pendamping desa, penghargaan tersebut menjadi hambar jika tidak disertai tindakan nyata. Tindakan nyata itu tidak hanya berupa seremonial tahunan, melainkan kebijakan konkret yang menjamin kesejahteraan dan status pekerjaan yang lebih jelas.
Sejak ditetapkan melalui Keputusan Menteri Nomor 110 Tahun 2022 oleh Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Abdul Halim Iskandar, Hari Bakti Pendamping Desa pada 7 Oktober diperingati sebagai wujud apresiasi atas jasa pendamping desa yang telah bekerja keras mengawal pembangunan desa selama beberapa tahun terakhir.Â
Menteri Abdul Halim menyatakan bahwa peringatan ini dimaksudkan untuk memuliakan profesi pendamping desa, yang selama ini menjadi ujung tombak dalam mendampingi masyarakat desa.
Namun, paska perubahan politik yang terjadi dengan terpilihnya Prabowo Subianto sebagai Presiden Republik Indonesia serta bergantinya menteri desa, Hari Bakti Pendamping Desa kali ini terasa hambar dan tidak seremonial seperti sebelumnya.
Perubahan Dinamika Politik: Kegelisahan Pendamping Desa
Perubahan rezim di Indonesia selalu membawa dinamika baru dalam birokrasi, termasuk di dalam Kementerian Desa. Saat ini, di tengah pergantian kekuasaan dan penantian pelantikan Presiden Prabowo Subianto, pendamping desa mengalami ketidakpastian yang kian mengkhawatirkan. Salah satu alasan utama mengapa Hari Bakti Pendamping Desa tahun ini terasa tidak semarak adalah ketidakpastian keberlanjutan kontrak yang dihadapi para pendamping.Â
Pergantian pemerintahan sering kali disertai dengan pergantian kebijakan, dan hal ini menciptakan kekhawatiran bagi ribuan pendamping desa yang status kontraknya masih mengambang.
Pendamping desa, yang sebagian besar bekerja dengan status kontrak tahunan, berada dalam kondisi yang tidak baik-baik saja. Meski telah berjasa besar dalam mendukung implementasi Undang-Undang Desa dan memastikan keberlanjutan program Dana Desa, mereka tetap menghadapi ketidakpastian terkait masa depan pekerjaan mereka.Â
Ketidakpastian ini semakin terasa tajam ketika rezim pemerintahan berganti. Ada ketakutan bahwa kebijakan atau program pendampingan desa dapat mengalami revisi atau bahkan dihentikan, mengingat pergantian menteri sering kali membawa arah kebijakan baru yang belum tentu selaras dengan pemerintahan sebelumnya.