Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Penikmat Kopi

Saat ini mengabdi pada desa. Kopi satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Hey, Ada MotoGP di Pondok Al-Aziziyah!

1 Oktober 2024   19:39 Diperbarui: 1 Oktober 2024   19:55 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Panas matahari di Pondok Pesantren Al-Aziziyah perlahan-lahan merayap ke ubun-ubun. Dengan teriknya yang tak henti-henti, suasana siang hari terasa membakar, namun bagi sekelompok santri yang tengah duduk di teras Masjid Al-Kautsar, suasana justru tak sedikitpun membosankan. 

Mereka tidak sedang menunggu azan berkumandang atau pengumuman pondok yang biasanya menghiasi hari-hari mereka, tetapi mereka sedang saling menderu mesin yang menggema di kepala—bukan mesin asli, melainkan deru khayalan yang dihadirkan oleh balapan paling bergengsi di dunia, MotoGP!

Jauh dari kenyataan bahwa mereka berada di dalam pondok pesantren, di mana waktu mereka diisi oleh kegiatan belajar-mengajar, hafalan Al-Qur'an, dan ibadah harian, santri-santri ini tak ragu membayangkan hiruk-pikuk Sirkuit Mandalika yang hanya mereka kenal melalui cerita-cerita atau mungkin sedikit cuplikan di perangkat elektronik yang sesekali berhasil mereka akses. Namun, bagi para santri yang memiliki mimpi besar, khayalan dapat menjadi jembatan yang mempertemukan mereka dengan dunia luar yang tidak mudah mereka jangkau. “Bayangkan kalau Marc Márquez datang ke sini!” seru Jamil, salah satu santri kelas tiga madrasah tsanawiyah, dengan mata yang berbinar penuh antusiasme.

Meskipun menonton MotoGP secara langsung terdengar hampir mustahil bagi santri-santri ini—jarak pondok dari Sirkuit Mandalika yang cukup jauh, biaya tiket yang setara dengan biaya hidup mereka selama satu bulan, dan tentunya larangan membawa perangkat teknologi di pondok—itu semua tidak menjadi halangan membawa MotoGP ke dalam halaman pesantren melalui kekuatan imajinasi mereka.

Santri-santri ini tidak memerlukan layar kaca demi menikmati balapan, cukup dengan duduk di bawah pohon atau di teras masjid, mereka bisa membayangkan suara mesin-mesin balap, bau karet terbakar, dan manuver tajam di tikungan yang biasanya disaksikan penonton dari tribun sirkuit. Suasana MotoGP pun hadir di halaman berdebu dan berkerikil mereka. “Mungkin Ustadz Fadhil yang akan jadi komentator,” ucap Hasan dengan tawa geli, membayangkan bagaimana jika sosok Ustadz Fadhil yang selalu tenang dan lembut tetiba memegang mikrofon dan memberikan analisis cerdas nan antusias layaknya komentator balapan profesional. Para santri lain tak bisa menahan tawa mereka. “Kalau begitu, Aleix Espargaro bisa jadi santri tamu di pondok!” seru Ahmad, melontarkan candaan yang disambut tawa lepas teman-temannya.

Khayalan tentang balapan yang melibatkan para pembalap MotoGP ini memang terdengar absurd, tapi nyatanya, di tengah-tengah kesibukan pondok, pembicaraan ini menjadi pelarian yang menyegarkan. Mereka biasanya dipenuhi oleh rutinitas pondok yang ketat, setiap waktu belajar, menghafal, dan beribadah. Maka, ketika mereka membicarakan tentang MotoGP, bahkan tanpa alat bantu visual, dunia luar yang penuh adrenalin seolah hadir sejenak di hadapan mereka. “Kalau Joan Mir jadi ustadz, saat taushiyah mungkin gak pake kopiah, tapi pake helm!” celetuk Rifqi, disambut gelak tawa keras santri lainnya.

Meski imajinasi mereka tentang balapan di pondok terlihat mustahil, ada sesuatu yang nyata yang mereka rasakan—yaitu kebersamaan dan kebahagiaan yang sederhana. MotoGP yang biasanya dipenuhi oleh sorakan para penonton di tribun sirkuit, kini dihadirkan di pondok dengan tawa dan canda para santri yang penuh semangat. Mereka tidak membutuhkan aspal mulus atau tribun megah, karena di halaman pondok mereka yang berdebu dan berkerikil, mereka sudah merasa seperti berada di tengah hiruk-pikuk balapan sesungguhnya.

Beberapa santri bahkan berkhayal lebih jauh lagi. Mereka membayangkan suatu saat nanti, di antara mereka ada yang bisa datang langsung ke Sirkuit Mandalika dan menonton balapan dengan mata kepala sendiri. “Suatu hari kita akan sampai ke sana,” ujar Ahmad penuh keyakinan. Meskipun bagi mereka itu adalah impian yang jauh, harapan itu tetap hidup. Mereka tahu bahwa meski saat ini sulit, tak ada yang mustahil jika mereka terus berusaha.

Namun, selain khayalan tentang menyaksikan MotoGP langsung di sirkuit, ada juga santri yang mengusulkan ide yang lebih masuk akal. “Bagaimana kalau kita buat balapan di situ?” kata Jamil, sambil menunjuk ke tengah halaman dengan dengan senyum agak serius. Tapi tentu saja, balapan yang dimaksud Jamil bukan balapan motor. Di pondok, motor adalah sesuatu yang langka. Sebaliknya, mereka mungkin bisa mengadakan lomba balap lari atau bahkan balapan karung, di mana kecepatan dan ketangkasan akan diuji dengan cara yang sesuai dengan kehidupan pondok. Para santri lain langsung menyambut ide tersebut dengan semangat. “Wah, pasti seru! Kita bisa bikin sirkuit dari halaman ke ke masjid dengan mengelilingi asrama!”

Ide lomba balapan santri ini pun berkembang menjadi pembicaraan serius. Mereka mulai membayangkan format balapan itu nantinya. Siapa yang akan jadi panitia? Bagaimana aturan mainnya? Dan tentu saja, hadiah apa yang akan diberikan kepada pemenang. Balapan motor mungkin terlalu berbahaya, tapi lomba balap lari atau karung bisa menjadi hiburan yang menarik bagi para santri di tengah padatnya kegiatan pondok. Mereka bahkan bercanda bahwa lomba ini bisa menjadi semacam “MotoGP versi santri,” di mana kecepatan kaki, semangat, dan dedikasi menjadi andalan.

Tak lama setelah ide balapan muncul, para santri mulai berandai-andai tentang siapa yang akan menjadi juara. “Aku pasti menang kalau lombanya balapan karung,” kata Jamil dengan penuh percaya diri. “Tapi kalau balapan lari, Hasan yang paling cepat di sini,” tambah Ahmad, mengakui kecepatan temannya dalam berlari. Tawa dan semangat santri-santri itu terus berlanjut, membuat suasana pondok yang biasanya sunyi menjadi lebih hidup.

Di tengah semua canda dan imajinasi itu, para santri sejenak lupa bahwa dunia mereka sehari-hari adalah dunia yang penuh kesederhanaan. Pondok Pesantren Al-Aziziyah, dengan ketenangan yang khas, tetap menjadi tempat mereka menuntut ilmu agama dan mendekatkan diri kepada Allah. Tapi di sela-sela itu, mereka juga manusia biasa yang memiliki mimpi dan khayalan tentang dunia luar, tentang kecepatan, balapan, dan sensasi yang mungkin tak akan mereka rasakan dalam waktu dekat.

Meskipun MotoGP hanya ada dalam imajinasi santri-santri ini, bukan berarti mimpi-mimpi mereka tak berharga. Khayalan mereka tentang balapan di lapangan pondok mungkin tampak sederhana, tapi di balik itu, ada semangat yang luar biasa. Semangat untuk terus bermimpi, semangat untuk terus bergerak maju, seperti motor-motor yang melesat di lintasan sirkuit.

Hidup di pondok yang penuh keteraturan, ada ruang bagi eskapis bagi santri, ruang melarikan diri ke dalam dunia khayal, membiarkan mimpi-mimpi mereka berlari kencang. Seperti halnya balapan di MotoGP, hidup di pondok juga membutuhkan tekad dan ketangguhan. Santri-santri di Pondok Al-Aziziyah mungkin tidak memiliki sepeda motor yang menderu-deru, tapi mereka punya mimpi yang siap mencapai garis finish.

Jadi, meskipun balapan di Pondok Al-Aziziyah mungkin hanya ada dalam imajinasi, itu cukup membakar semangat para santri. Dalam angan-angan mereka, halaman pondok telah menjadi sirkuit, tempat mereka berlomba-lomba, bukan hanya untuk menang, tapi juga menjaga mimpi dan cita-cita mereka tetap hidup. Dan siapa tahu, mungkin suatu hari nanti, beberapa dari mereka benar-benar bisa merasakan sensasi balapan itu secara langsung—baik di lintasan MotoGP maupun dalam perlombaan hidup yang lebih besar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun