Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Konsultan - Penikmat Kopi

Saat ini mengabdi pada desa. Kopi satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Hey, Ada MotoGP di Pondok Al-Aziziyah!

1 Oktober 2024   19:39 Diperbarui: 1 Oktober 2024   19:55 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Panas matahari di Pondok Pesantren Al-Aziziyah perlahan-lahan merayap ke ubun-ubun. Dengan teriknya yang tak henti-henti, suasana siang hari terasa membakar, namun bagi sekelompok santri yang tengah duduk di teras Masjid Al-Kautsar, suasana justru tak sedikitpun membosankan. 

Mereka tidak sedang menunggu azan berkumandang atau pengumuman pondok yang biasanya menghiasi hari-hari mereka, tetapi mereka sedang saling menderu mesin yang menggema di kepala—bukan mesin asli, melainkan deru khayalan yang dihadirkan oleh balapan paling bergengsi di dunia, MotoGP!

Jauh dari kenyataan bahwa mereka berada di dalam pondok pesantren, di mana waktu mereka diisi oleh kegiatan belajar-mengajar, hafalan Al-Qur'an, dan ibadah harian, santri-santri ini tak ragu membayangkan hiruk-pikuk Sirkuit Mandalika yang hanya mereka kenal melalui cerita-cerita atau mungkin sedikit cuplikan di perangkat elektronik yang sesekali berhasil mereka akses. Namun, bagi para santri yang memiliki mimpi besar, khayalan dapat menjadi jembatan yang mempertemukan mereka dengan dunia luar yang tidak mudah mereka jangkau. “Bayangkan kalau Marc Márquez datang ke sini!” seru Jamil, salah satu santri kelas tiga madrasah tsanawiyah, dengan mata yang berbinar penuh antusiasme.

Meskipun menonton MotoGP secara langsung terdengar hampir mustahil bagi santri-santri ini—jarak pondok dari Sirkuit Mandalika yang cukup jauh, biaya tiket yang setara dengan biaya hidup mereka selama satu bulan, dan tentunya larangan membawa perangkat teknologi di pondok—itu semua tidak menjadi halangan membawa MotoGP ke dalam halaman pesantren melalui kekuatan imajinasi mereka.

Santri-santri ini tidak memerlukan layar kaca demi menikmati balapan, cukup dengan duduk di bawah pohon atau di teras masjid, mereka bisa membayangkan suara mesin-mesin balap, bau karet terbakar, dan manuver tajam di tikungan yang biasanya disaksikan penonton dari tribun sirkuit. Suasana MotoGP pun hadir di halaman berdebu dan berkerikil mereka. “Mungkin Ustadz Fadhil yang akan jadi komentator,” ucap Hasan dengan tawa geli, membayangkan bagaimana jika sosok Ustadz Fadhil yang selalu tenang dan lembut tetiba memegang mikrofon dan memberikan analisis cerdas nan antusias layaknya komentator balapan profesional. Para santri lain tak bisa menahan tawa mereka. “Kalau begitu, Aleix Espargaro bisa jadi santri tamu di pondok!” seru Ahmad, melontarkan candaan yang disambut tawa lepas teman-temannya.

Khayalan tentang balapan yang melibatkan para pembalap MotoGP ini memang terdengar absurd, tapi nyatanya, di tengah-tengah kesibukan pondok, pembicaraan ini menjadi pelarian yang menyegarkan. Mereka biasanya dipenuhi oleh rutinitas pondok yang ketat, setiap waktu belajar, menghafal, dan beribadah. Maka, ketika mereka membicarakan tentang MotoGP, bahkan tanpa alat bantu visual, dunia luar yang penuh adrenalin seolah hadir sejenak di hadapan mereka. “Kalau Joan Mir jadi ustadz, saat taushiyah mungkin gak pake kopiah, tapi pake helm!” celetuk Rifqi, disambut gelak tawa keras santri lainnya.

Meski imajinasi mereka tentang balapan di pondok terlihat mustahil, ada sesuatu yang nyata yang mereka rasakan—yaitu kebersamaan dan kebahagiaan yang sederhana. MotoGP yang biasanya dipenuhi oleh sorakan para penonton di tribun sirkuit, kini dihadirkan di pondok dengan tawa dan canda para santri yang penuh semangat. Mereka tidak membutuhkan aspal mulus atau tribun megah, karena di halaman pondok mereka yang berdebu dan berkerikil, mereka sudah merasa seperti berada di tengah hiruk-pikuk balapan sesungguhnya.

Beberapa santri bahkan berkhayal lebih jauh lagi. Mereka membayangkan suatu saat nanti, di antara mereka ada yang bisa datang langsung ke Sirkuit Mandalika dan menonton balapan dengan mata kepala sendiri. “Suatu hari kita akan sampai ke sana,” ujar Ahmad penuh keyakinan. Meskipun bagi mereka itu adalah impian yang jauh, harapan itu tetap hidup. Mereka tahu bahwa meski saat ini sulit, tak ada yang mustahil jika mereka terus berusaha.

Namun, selain khayalan tentang menyaksikan MotoGP langsung di sirkuit, ada juga santri yang mengusulkan ide yang lebih masuk akal. “Bagaimana kalau kita buat balapan di situ?” kata Jamil, sambil menunjuk ke tengah halaman dengan dengan senyum agak serius. Tapi tentu saja, balapan yang dimaksud Jamil bukan balapan motor. Di pondok, motor adalah sesuatu yang langka. Sebaliknya, mereka mungkin bisa mengadakan lomba balap lari atau bahkan balapan karung, di mana kecepatan dan ketangkasan akan diuji dengan cara yang sesuai dengan kehidupan pondok. Para santri lain langsung menyambut ide tersebut dengan semangat. “Wah, pasti seru! Kita bisa bikin sirkuit dari halaman ke ke masjid dengan mengelilingi asrama!”

Ide lomba balapan santri ini pun berkembang menjadi pembicaraan serius. Mereka mulai membayangkan format balapan itu nantinya. Siapa yang akan jadi panitia? Bagaimana aturan mainnya? Dan tentu saja, hadiah apa yang akan diberikan kepada pemenang. Balapan motor mungkin terlalu berbahaya, tapi lomba balap lari atau karung bisa menjadi hiburan yang menarik bagi para santri di tengah padatnya kegiatan pondok. Mereka bahkan bercanda bahwa lomba ini bisa menjadi semacam “MotoGP versi santri,” di mana kecepatan kaki, semangat, dan dedikasi menjadi andalan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun