TGH. Musthofa Umar Abdul Aziz merupakan salah seorang ulama terkemuka yang tidak hanya dikenal melalui dedikasinya dalam dunia pendidikan dan dakwah, tetapi juga melalui sikapnya yang hati-hati dalam berpolitik.
Perjalanannya dalam mendirikan dan memimpin Pondok Pesantren Al-Aziziyah menunjukkan kepribadian yang kokoh dan tegas dalam menjaga independensi pesantren dari pengaruh politik praktis, meskipun beliau tidak menutup mata terhadap dinamika politik yang berkembang.
Salah satu momen penting dalam perjalanan politik TGH. Musthofa adalah dukungannya terhadap salah satu calon gubernur NTB pada tahun 1998, sebuah keputusan yang berlandaskan pada pertimbangan matang dan kepentingan umat.
Namun, dalam pemilihan gubernur berikutnya, TGH. Musthofa memilih untuk tidak terlibat lagi dalam mendukung atau mencalonkan kandidat. Keputusan ini mencerminkan prinsip beliau yang mengutamakan kemandirian pesantren dan fokus pada pendidikan serta dakwah, bukan pada urusan politik praktis.
Langkah ini juga menegaskan sikap TGH. Musthofa dalam menjaga agar pesantren tetap berada di jalur yang netral, menjauhi pengaruh politik yang bisa memecah umat atau membawa pesantren ke dalam kepentingan pragmatis tertentu.
Masa Nyantri dan Diskusi Politik
Saat menimba ilmu di Pondok Pesantren Nahdlatul Wathan Pancor di bawah asuhan TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, sangat mungkin TGH. Musthofa Umar Abdul Aziz terlibat dalam berbagai diskusi dan dialog tentang politik. Sebagai salah satu murid kesayangan, TGH. Musthofa mendapatkan privillage dalam pengajaran, termasuk dalam mendaras pelajaran agama dan memahami dinamika sosial-politik nasional maupun lokal saat itu.
Meskipun TGKH. Zainuddin terlibat aktif dalam dunia politik, TGH. Musthofa memilih jalan berbeda setelah menyelesaikan pendidikannya, dengan tidak terjun langsung dalam politik praktis.
Dialog politik yang terjadi di Pancor, terutama di antara para santri senior, bisa jadi menjadi bagian dari formasi pemikiran TGH. Musthofa tentang peran politik dalam kehidupan sosial. Meski demikian, setelah pulang dari Mekah pada tahun 1985 dan merintis Pondok Pesantren Al-Aziziyah, Aboye (sebutan untuk TGH. Musthofa) lebih memilih menjaga pesantrennya dari pengaruh politik luar.
Keputusan ini didasarkan pada keyakinannya bahwa pesantren mesti menjadi lembaga yang mandiri, fokus pada pendidikan agama, dan tidak terganggu oleh dinamika politik praktis.