Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Konsultan - Penikmat Kopi

Saat ini mengabdi pada desa. Kopi satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Yaa Walaad," Sapaan Khas Penuh Makna Abuya TGH. Musthofa Umar

24 September 2024   10:57 Diperbarui: 24 September 2024   11:04 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namun, ada pula santri yang memilih reaksi kedua—bangun, tetapi bukan untuk beribadah. Mereka segera berpindah tempat tidur, mencari sudut yang lebih tersembunyi agar terhindar dari pandangan Abuya atau pengurus pondok yang berkeliling membangunkan santri. Tindakan ini mungkin lahir dari rasa malas yang kadang datang, meskipun santri sangat memahami pentingnya tahajjud.

Sementara itu, reaksi ketiga adalah yang paling umum terjadi di kalangan santri yang terlalu lelah—pura-pura tidak mendengar. Mereka tetap terbaring di tempat tidur, berharap panggilan “Yaa Walaad” tidak ditujukan kepada mereka dan berharap Abuya tidak datang lebih dekat. Dalam hati, mereka mungkin merasa bersalah karena melewatkan kesempatan beribadah, tetapi kelelahan fisik kadang menjadi alasan utama untuk tetap berbaring.

Sapaan Penuh Berkah

Bagi banyak santri, sapaan “Yaa Walaad” memiliki makna yang lebih dalam daripada sekadar panggilan untuk bangun. Ada yang meyakini bahwa sapaan tersebut mengandung berkah, dan mendengarnya langsung dari TGH. Musthofa adalah sebuah kehormatan. Dalam tradisi pesantren, keberkahan guru sering kali diidentikkan dengan cara dari seorang guru memanggil dan memperlakukan santrinya. Setiap kata, setiap sapaan, dianggap memiliki makna spiritual yang kuat. Abuya, dengan sapaan khasnya, seolah-olah tidak hanya membangunkan mereka secara fisik tetapi juga menyadarkan mereka akan tanggung jawab mereka sebagai penuntut ilmu.

Santri-santri yang mendapatkan sapaan itu secara langsung sering kali merasakan ada perubahan dalam diri mereka. Mereka menjadi lebih disiplin, lebih fokus dalam belajar, dan lebih tekun dalam beribadah. Hal ini disebabkan karena mereka merasakan bahwa Abuya tidak hanya memperhatikan mereka secara fisik tetapi juga secara spiritual. Keberadaan Abuya di tengah-tengah santri menjadi sebuah dorongan moral yang kuat bagi mereka untuk terus memperbaiki diri.

Bagi para senior, terutama yang telah lama lulus dari pondok, kenangan akan sapaan “Yaa Walaad” selalu membekas dalam ingatan. Mereka sering menceritakan pengalaman tersebut kepada santri baru, membuat sapaan itu menjadi semacam legenda di kalangan santri Al-Aziziyah. Para senior mungkin juga menambahkan bumbu cerita tentang bagaimana mereka lari terbirit-birit ketika dipanggil Abuya karena kedapatan melanggar disiplin. Atau mereka berbagi kisah tentang bagaimana mereka mendapatkan 'selawat' dari Abuya, yang datang tiba-tiba saat mereka sedang tidak punya apa-apa.

Waktu yang Berlalu, Sapaan yang Abadi

Pada era santri 2014 dan seterusnya, sapaan “Yaa Walaad” tidak akan terdengar lagi secara langsung dari Abuya TGH. Musthofa Umar. Beliau tidak mungkin lagi membangunkan santri seperti dulu, atau membuat mereka lari terbirit-birit karena melanggar disiplin. Namun, kenangan tentang sapaan itu terus hidup dalam cerita-cerita yang disampaikan dari generasi ke generasi. Para santri baru mungkin tidak lagi merasakan getaran khas ketika mendengar suara berat dan hangat Abuya memanggil mereka di tengah malam. Namun, mereka masih bisa merasakan kehadiran Abuya melalui ajaran-ajarannya, yang terus dilestarikan di pondok.

Meskipun waktu berlalu dan dunia pondok terus berkembang, semangat yang terkandung dalam sapaan “Yaa Walaad” tetap hidup. Itu adalah simbol kasih sayang seorang guru kepada murid-muridnya, simbol dari kebersamaan yang melampaui batas ruang dan waktu. Bagi yang pernah mendengarnya, sapaan itu adalah kenangan manis yang akan terus mereka bawa hingga akhir hayat.

Legenda yang Tak Pernah Padam

Sapaan “Yaa Walaad” dari TGH. Musthofa Umar Abdul Aziz bukan sekadar panggilan biasa. Itu adalah bagian dari warisan spirit yang ia tinggalkan kepada para santrinya. Meskipun sapaan itu tidak lagi terdengar sesering dulu, keberadaannya tetap terasa di hati mereka yang pernah mendengarnya. Bagi generasi santri yang lebih muda, sapaan itu adalah legenda yang diceritakan oleh para senior mereka—sebuah kisah tentang kedekatan seorang guru dengan murid-muridnya yang melampaui dimensi duniawi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun