Suasana subuh yang tenang di Pondok Pesantren Al-Aziziyah, Lombok, ketika fajar perlahan memancarkan sinarnya di langit timur. Di tengah dinginnya udara pagi, terdengar suara berat namun penuh kasih yang memecah kesunyian. “Yaa Walaad!”—sapaan ini tidak sekadar panggilan biasa. Suara itu milik Tuan Guru Haji (TGH) Musthofa Umar Abdul Aziz, pendiri sekaligus pengasuh pondok, seorang ulama yang dihormati dalam keteguhannya mendidik dan keistiqamahan dalam ibadah. Bagi para santrinya, suara ini adalah penanda dari dimulainya aktivitas santri, atau bahwa sesuatu, baik teguran atau berkah, akan segera menyapa mereka.
Bagi generasi santri sebelum 2014, sapaan “Yaa Walaad” dari Abuya atau mamiq, begitu mereka menyebut TGH. Musthofa, bukan sekadar panggilan kasual. Sapaan itu telah menjadi bagian dari pengalaman pondok yang terpatri dalam ingatan, dan masing-masing santri memiliki kenangan tersendiri terkait panggilan itu.
Namun, bagi santri era 2014 dan seterusnya, mereka hanya bisa mendengar cerita tentang sapaan "keramat" ini dari senior mereka—sebuah legenda kecil yang menumbuhkan rasa hormat dan rindu pada sosok sang pendiri yang penuh kharisma.
Panggilan yang Melahirkan Reaksi
Tidak ada yang persis tahu kapan tepatnya TGH. Musthofa mulai menggunakan sapaan “Yaa Walaad” kepada para santrinya. Namun, setiap kali sapaan itu terdengar, reaksi yang muncul di antara santri sangat beragam. Panggilan itu seperti kode rahasia yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang pernah merasakannya secara langsung.
Reaksi pertama biasanya terjadi ketika para santri sedang dalam keadaan terjaga. Sapaan “Yaa Walaad” seringkali terdengar ketika Abuya berkeliling pondok untuk memantau aktivitas santri. Kadang, sapaan itu membuat para santri yang mungkin sedang melanggar disiplin pondok—seperti diam-diam menonton televisi di rumah Inaq Gahat—langsung berlarian meninggalkan tempat, berusaha menghindari teguran. Inaq Gahat, rumahnya berada di dekat pondok bagian selatan, ia berjualan kecil-kecilan dan rumahnya kerap menjadi tempat ‘pelarian’ bagi santri yang ingin sedikit bersantai dari padatnya aktivitas pesantren. Menonton televisi menjadi salah satu bentuk pelanggaran, karena bagi Abuya tivi itu tipu (menipu). Mendengar “sapaan” itu dari Abuya, mereka tahu waktu bermain sudah usai, dan saatnya kembali ke pondok sebelum tertangkap.
Namun, sapaan itu tidak selalu menghadirkan ketakutan. Ada saatnya ketika santri yang mendengar sapaan “Yaa Walaad” memilih untuk tidak melarikan diri. Mereka justru berbalik dan mendekat untuk bersalaman dengan Abuya. Mengapa? Karena ada kemungkinan bahwa Abuya akan merogoh kantongnya dan memberikan mereka beberapa lembar 'selawat' (uang). Bagi santri, pertemuan dengan Abuya di luar kegiatan formal selalu menjadi momen berharga. Abuya dikenal sebagai sosok yang murah hati, sering kali memberikan hadiah kecil kepada santri yang ia temui sebagai bentuk kasih sayang.
Antara Bangun dan Terjaga
Tidak hanya pada siang hari, sapaan “Yaa Walaad” juga sering terdengar di saat para santri sedang tertidur lelap. Biasanya, sapaan itu menjadi tanda bahwa waktu untuk shalat tahajjud telah tiba. Dalam suasana pondok yang gelap, di tengah malam yang sunyi, panggilan itu menggema dari satu asrama ke asrama lainnya, membangunkan para santri untuk bangkit dari tidur mereka. Bagi yang mendengarnya, ada tiga reaksi yang umum terjadi.
Reaksi pertama adalah yang paling ideal. Santri yang terbangun karena sapaan “Yaa Walaad” segera bangkit, bergegas mengambil air wudhu, lalu melaksanakan shalat tahajjud. Bagi mereka, panggilan itu adalah pengingat bahwa ada kesempatan untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui ibadah malam, sebuah tradisi yang kuat di pondok Al-Aziziyah. Abuya sendiri tidak pernah meninggalkan tahajjud, dan ia mendorong santrinya untuk meneladani keistiqamahan ini. Bahkan dalam kondisi paling lelah sekalipun, banyak santri yang berusaha untuk bangun, sadar bahwa keberkahan ada dalam ibadah ini.